Cimanggis Depok

Demi Beras, Nur Mahmudi Sering Mondar-mandir ke Tempat Penggilingan Gabah

Mantan Wali Kota Depok ini dikukuhkan sebagai profesor riset di Auditorium Soemitro Djojohadikoesoemo, Gedung B.J Habibie, Jakarta Pusat.

Editor: murtopo
Wartakotalive.com/Muhamad Fajar Riyandanu
Nur Mahmudi saat dijumpai di rumahnya di Griya Tugu Asri, Cimanggis, Depok, Jawa Barat pada Rabu (8/9/2021), sore. 

Laporan Wartawan Warta Kota, Muhamad Fajar Riyandanu

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, CIMANGGIS - Nur Mahmudi resmi ditetapkan sebagai Profesor Riset Bidang Teknologi Pascapanen oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Rabu (8/9/2021). 

Mantan Wali Kota Depok ini dikukuhkan sebagai profesor riset di Auditorium Soemitro Djojohadikoesoemo, Gedung B.J Habibie, Jakarta Pusat.

Alumnus Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi di Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1984 ini mengatakan, sejak kecil ia sudah gemar dengan dunia pertanian dan pengolahan pangan. 

"Keluarga saya itu keluarga petani. Dari mbah saya adalah tukang cukur dan petani, bapak saya adalah petani dan pedagang kelontong," kata Nur Mahmudi saat dijumpai di rumahnya di Griya Tugu Asri, Cimanggis, Depok, Jawa Barat pada Rabu (8/9/2021), sore. 

Baca juga: Berdampak Luas Bagi Masyarakat, APPBI Berharap Mal dan Pusat Perbelanjaan Tidak Ditutup Lagi

Lebih lanjut, kata Nur Mahmudi, sejak masuk Sekolah Dasar (SD), ia sudah diikutkan dan diberi tanggung jawab untuk turut berpartisipasi dalam proses pertanian milik orang tuanya. 

Bersama kakak dan adiknya, anak kedelapan dari sembilan bersaudara tersebut mengelola sekitar 3,5 hektar lahan.

Adapun jenis tanaman yang sering mereka tanam yakni padi, palawiya seperti jagung, kedelai dan tanaman agrikultur seperti sayur mayur cabai dan limun.

Pada kesempatan tersebut, Nur Mahmudi mengenang model pembagian tugas yang berikan oleh orang tuanya.

Baca juga: Mulai Hari Ini Naik KRL Cukup Tunjukkan Sertifikat Vaksin dan KTP

Saat itu, sejak duduk di bangku SD pada tahun 1968 hingga SMA di tahun 1980, ia mendapat tugas untuk menyerahkan gabah kering ke rumah penggilingan padi. 

"Jika di rumah sedang perlu beras, saya ditugaskan untuk pergi ke tempat penggilingan padi, namanya nyelep. Jadi selepan padi," kenang Nur Mahmudi

Jarak antara lokasi penggilingan padi dari rumah Nur Mahmudi berjarak sekira 200 meter.

"Saya bawa gabah keringnya, kemudian dimasukkan ke dalam karung gabahnya, diletakkan di belakang sepeda, saya naik untuk kemudian di bawa ke tempat penggilingan padi," ujarnya. 

Baca juga: Mahfud MD Umumkan Rencana Membangun Lapas Baru,Lapas di Indonesia Sudah Over Kapasitas

Sering kali, ujar Nurmahmudi,  tiap sore, sehabis pulang sekolah ia acap kali mengangkut satu kuintal gabah per hari. "Tergantung dari jumlah, misal satu kuaintal itu ya dua kali," ujarnya. 

Pria kelahiran Kediri, Jawa Timur ini mengatakan, ongkos sewa penggilingan padi dibayar dengan hasil beras yang dihasilkan.

"Kita giling satu kuintal lalu kita setor beras tiga kilo. Bayarnya bukan pakai rupiah, tapi beras, tuturnya. 

Kegiatan rutinan tersebut terhenti saat Nur Mahmudi melanjutkan studi ke IPB pada tahun 1980.

Di sana, ia menempuh pendidikan di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. (m29) 
 
 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved