Berita UI

Program CAPITA FKUI Berupaya Hilangkan Stigma dan Diskriminasi Pasien TB

Berupaya hilangkan stigma dan diskriminasi pasien TB. Hal tersebut merupakan Program CAPITA FKUI. Penyakit infeksi TB paling mematikan di dunia.

Penulis: dodi hasanuddin | Editor: dodi hasanuddin
Dok. Humas dan KIP UI
Program CAPITA FKUI Berupaya Hilangkan Stigma dan Diskriminasi Pasien TB. 

Prioritas tersebut meliputi optimalisasi penemuan dini kasus TB, optimalisasi upaya diagnosis dan pengobatan TB resisten obat, evaluasi dan intensifikasi investigasi kontak.

Kemudian penguatan upaya penemuan kasus dan pengobatan TB anak, serta pengembangan pengobatan pencegahan TB.

Kebijakan pemerintah pusat dan daerah juga dibutuhkan dalam pengendalian TB, selain optimalisasi laboratorium penunjang diagnosis TB, peningkatan kepatuhan pasien berobat, pengembangan alat diagnosis TB, dan upaya pemberdayaan masyarakat juga termasuk di dalamnya.

Baca juga: FKUI Miliki Data Center IMERI-IDEALAB Dapat Digunakan untuk Kepentingan Indonesia dan Dunia

Menurut Ahmad Fuady, M.Sc., PhD. selaku Ketua Tim Peneliti CAPITA, hingga saat ini, belum ada peraturan yang mengeliminasi stigma terhadap pasien TB.

Oleh karena itu, studi ini bertujuan memberikan bukti ilmiah untuk mendesain dan mengimplementasikan intervensi psikososial demi mereduksi stigma negatif TB.

Menurut Ahmad, studi CAPITA dilaksanakan di tujuh provinsi (Sumatera Barat, Jambi, Jakarta, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku).

Dua populasi utama pada penelitian ini meliputi populasi A (770 orang dewasa yang menjalani pengobatan TB) dan populasi B (640 pekerja dewasa).

“Selanjutnya, dilakukan desk review terhadap peraturan terkait stigma dan diskriminasi TB dan wawancara mendalam. Hasil studi dan rekomendasi kebijakan kemudian diberikan kepada Kemenkes dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai masukan untuk pembuata kebijakan,” kata Ahmad.

Menurut Dr. dr. Retno Asti Werdhani, M.Epid. selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, stigma dapat disebabkan empat hal.

Baca juga: Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia Imbau Rumah Sakit Selektif Terima Pasien Covid-19

Empat hal itu adalah ketidaktahuan akan penyakit dan perkembangannya, kondisi yang berkepanjangan (pandemi), kurangnya dukungan psikososial, dan respons otoritas yang belum adekuat atau kurang konsisten.

Hal ini bisa ditangani melalui penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat dan individu.

Hal lain yang patut diperhatikan adalah memberikan harapan dan cerita positif guna meningkatkan peluang pasien untuk sembuh.

“Mengingat ketidakpahaman adalah faktor yang menyulut terbentuknya stigma sosial, tenaga kesehatan harus mampu mengedukasi masyarakat agar mendapat informasi yang benar,” kata Dr. Retno.

Baca juga: Prof. dr. H. Ali Sulaiman Guru Besar FKUI Pakar Hepatobilier Wafat, Dimakamkan di San Diego Hills

Guru Besar Kedokteran Okupasi FKUI Prof. dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, Sp.Ok, PhD., mengatakan pasien TB distigmatisasi karena dikaitkan dengan hasil pekerjaan yang terbatas.

Stigmatisasi juga memunculkan beban ganda bagi petugas kesehatan karena mereka harus mengatasi peningkatan morbiditas dan mortalitas diri sendiri sekaligus bertanggung jawab mengatasi TB sebagai masalah kesehatan masyarakat.

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya menghilangkan stigma dengan pendidikan kesehatan tentang TB, dilakukannya penelitian untuk tata laksana yang lebih baik, dukungan kebijakan dan layanan kesehatan di tempat kerja, serta praktik kedokteran okupasi yang sesuai.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved