Berita UI
Program CAPITA FKUI Berupaya Hilangkan Stigma dan Diskriminasi Pasien TB
Berupaya hilangkan stigma dan diskriminasi pasien TB. Hal tersebut merupakan Program CAPITA FKUI. Penyakit infeksi TB paling mematikan di dunia.
Penulis: dodi hasanuddin | Editor: dodi hasanuddin
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, PANCORAN MAS - Program CAPITA FKUI berupaya hilangkan stigma dan diskriminasi pasien TB.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi paling mematikan di dunia. Secara global, estimasi kasus TB lebih dari sembilan juta kasus dengan penurunan angka kesakitan dan kematian, masih lebih rendah dari target yang ditetapkan.
Di tengah tantangan mencapai target eliminasi TB, upaya mencegah dan menangani TB dipersulit dengan adanya stigma terhadap TB di masyarakat.
Baca juga: UI dan Pertamina Dorong Percepatan Inkubasi Bisnis, Ini Kata Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi
Untuk mengkaji stigmatisasi TB dan upaya penanganannya, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengadakan seminar bertema “Menilai dan Mengatasi Dampak Psikososial Tuberkulosis di Indonesia”, pada Kamis kemarin.
Pertemuan melalui virtual ini membahas program Characterising and Addressing the Psychosocial Impact of Tuberculosis in Indonesia (CAPITA), yang diselenggarakan FKUI pada Februari–November 2022.
Dekan FKUI, Prof. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MBA, menyampaikan dukungannya pada riset yang dilakukan peneliti TB.
Baca juga: Mahasiswa FTUI Kalahkan15 Universitas di Indonesia untuk Juara Kompetisi Rekayasa Kualitas Nasional
Menurutnya, penelitian ini sangat penting karena TB merupakan kasus yang terus mengalami peningkatan.
Ia menekankan perlunya kolaborasi dalam riset berskala nasional dan internasional agar hasilnya dapat dipublikasikan dan menjadi policy brief bagi lembaga terkait dan pemerintah.
“UI telah melakukan kolaborasi dengan pihak luar, seperti Oxford, Leiden University, Maastricht University, dan Melbourne University, untuk membuka peluang kerja sama dengan institusi internasional lainnya. Ini dilakukan agar kualias pendidikan dan penelitian makin meningkat, sehingga bermanfaat bagi masyarakat di dalam dan luar negeri,” kata Prof. Ari.
Selain kolaborasi internasional, UI juga melakukan kolaborasi nasional dengan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI). Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PML) Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid., menyampaikan, ada tiga arahan Presiden terkait percepatan eliminasi TB.
Yakni pelacakan agresif untuk menemukan penderita TB, obat-obatan TB harus tersedia dan pengobatan dilakukan hingga tuntas, serta pencegahan harus dilakukan lintas sektor hingga dari sisi infrastruktur.
Selain itu, dilakukan upaya mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap pasien, melalui peran komunitas, mitra, dan multisektor. “Studi, kajian, dan riset TB dilakukan bersamaan dengan program penanggulangannya. Hasilnya diharapkan bermanfaat untuk penguatan implementasi, perencanaam dan evaluasi program, kata dr. Siti.
Jetset TB Indonesia
Penelitian TB juga dilakukan oleh Jejaring Riset Tuberkulosis Indonesia (Jetset TB Indonesia).
Ketua Jetset TB Indonesia Prof. dr. Rovina Ruslami, Sp.PD, PhD., menyampaikan ada sepuluh prioritas penelitian TB di Indonesia.
Baca juga: FKUI Sebut Panik Omicron Bikin Imun Turun, Ini Tips Hindari Rasa Panik agar Terhindari dari Kematian
Prioritas tersebut meliputi optimalisasi penemuan dini kasus TB, optimalisasi upaya diagnosis dan pengobatan TB resisten obat, evaluasi dan intensifikasi investigasi kontak.
Kemudian penguatan upaya penemuan kasus dan pengobatan TB anak, serta pengembangan pengobatan pencegahan TB.
Kebijakan pemerintah pusat dan daerah juga dibutuhkan dalam pengendalian TB, selain optimalisasi laboratorium penunjang diagnosis TB, peningkatan kepatuhan pasien berobat, pengembangan alat diagnosis TB, dan upaya pemberdayaan masyarakat juga termasuk di dalamnya.
Baca juga: FKUI Miliki Data Center IMERI-IDEALAB Dapat Digunakan untuk Kepentingan Indonesia dan Dunia
Menurut Ahmad Fuady, M.Sc., PhD. selaku Ketua Tim Peneliti CAPITA, hingga saat ini, belum ada peraturan yang mengeliminasi stigma terhadap pasien TB.
Oleh karena itu, studi ini bertujuan memberikan bukti ilmiah untuk mendesain dan mengimplementasikan intervensi psikososial demi mereduksi stigma negatif TB.
Menurut Ahmad, studi CAPITA dilaksanakan di tujuh provinsi (Sumatera Barat, Jambi, Jakarta, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku).
Dua populasi utama pada penelitian ini meliputi populasi A (770 orang dewasa yang menjalani pengobatan TB) dan populasi B (640 pekerja dewasa).
“Selanjutnya, dilakukan desk review terhadap peraturan terkait stigma dan diskriminasi TB dan wawancara mendalam. Hasil studi dan rekomendasi kebijakan kemudian diberikan kepada Kemenkes dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai masukan untuk pembuata kebijakan,” kata Ahmad.
Menurut Dr. dr. Retno Asti Werdhani, M.Epid. selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, stigma dapat disebabkan empat hal.
Baca juga: Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia Imbau Rumah Sakit Selektif Terima Pasien Covid-19
Empat hal itu adalah ketidaktahuan akan penyakit dan perkembangannya, kondisi yang berkepanjangan (pandemi), kurangnya dukungan psikososial, dan respons otoritas yang belum adekuat atau kurang konsisten.
Hal ini bisa ditangani melalui penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat dan individu.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah memberikan harapan dan cerita positif guna meningkatkan peluang pasien untuk sembuh.
“Mengingat ketidakpahaman adalah faktor yang menyulut terbentuknya stigma sosial, tenaga kesehatan harus mampu mengedukasi masyarakat agar mendapat informasi yang benar,” kata Dr. Retno.
Baca juga: Prof. dr. H. Ali Sulaiman Guru Besar FKUI Pakar Hepatobilier Wafat, Dimakamkan di San Diego Hills
Guru Besar Kedokteran Okupasi FKUI Prof. dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, Sp.Ok, PhD., mengatakan pasien TB distigmatisasi karena dikaitkan dengan hasil pekerjaan yang terbatas.
Stigmatisasi juga memunculkan beban ganda bagi petugas kesehatan karena mereka harus mengatasi peningkatan morbiditas dan mortalitas diri sendiri sekaligus bertanggung jawab mengatasi TB sebagai masalah kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya menghilangkan stigma dengan pendidikan kesehatan tentang TB, dilakukannya penelitian untuk tata laksana yang lebih baik, dukungan kebijakan dan layanan kesehatan di tempat kerja, serta praktik kedokteran okupasi yang sesuai.