Tempuh Puskesmas 10 Km dengan Berjalan Kaki, Balita Meninggal Dipelukan Sang Ayah

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Martadinata kepada wartawan Selasa (4/7/2023) menceritakan berjalan kaki 10 kilometer untuk mengantar berobat anaknya yang terkena muntaber, namun nyawa sang anak tak tertolong dan meninggal dalam gendongannya

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, JAKARTA - Di tengah gelap gulita Martadinata menggendong balitanya yang tengah sakit menuju Puskesmas terdekat.

Namun upaya Martadinata sia-sia, balita bernama Meilani Tari Algani itu meninggal dunia sebelum sampai di Puskesmas.
Kisah pilu orang tua yang kehilangan putri tercintanya dalam perjalanan ke Puskesmas itu terjadi di Desa Landur, Kecamatan Pendopo, Empat Lawang, Sumatera Selatan, Selasa (4/7/2023).
Dikutip dari Tribun Sumsel, Martadinata memperjuangkan perjuangannya berjalan kaki menembus gulita malam demi menyelamatkan nyawa sang putri.

Baca juga: Kepala DPUPR Kota Depok Citra Indah Yulianty Ingatkan Warga Waspada Cuaca Ekstrim & Potensi Longsor

Saat itu kata Martadinata, ia sedang bermalam di talang ataupun kebun kopi bersama keluarganya.
Jarak kebun kopi sekitar 10 kilometer dari desa. Jika berjalan kaki dibutuhkan waktu 1 jam lamanya untuk keluar dari talang itu menuju desa.
Tiba-tiba saja putrinya yang masih berusia 4,5 tahun terbangun pukul 00.00 WIB karena muntah dan buang air.

Baca juga: Nur Azizah Tamhid Anggota Komisi VIII DPR Minta Kasus Tewasnya Pelajar SD di Medan Diusut Tuntas

Awalnya Martadinata dan istrinya tidak panik, hingga putrinya muntah untuk kedua kalinya.
"Pada malam itu anak saya sekitar jam 12 malam terbangun tidur awalnya ia minta minum lalu ingin buang air besar, usai buang air dia masih bisa jalan dan sempat tidur lagi kemudian mengeluhkan sakit perut. Saat itu sempat diberi obat oleh ibunya setelah itu ia langsung muntah awalnya kami tidak panik tapi setelah muntah 2 kali kami panik dan berencana membawanya ke dusun," katanya.
Tanpa berpikir panjang kedua pasangan suami istri itu langsung memutuskan berangkat ke Desa walau saat itu jam menunjukkan pukul 1 malam.

Baca juga: Ditemukan Cacing Hati di Daging Sapi, Wakil Wali Kota Bogor Langsung Cek Sejumlah Pasar

Mereka tetap berangkat dengan menggunakan penerangan seadanya melintasi perkebunan kopi dengan kontur naik turun di tengah malam yang gelap gulita.
Tak ada sedikitpun rasa takut yang mengurungkan niat Martadinata dan istrinya malam itu.
Meskipun beresiko bertemu hewan buas mereka menguatkan hati dan pikiran untuk segera membawa anak nomor duanya itu ke desa dan segera menuju rumah sakit terdekat.

Baca juga: 25 Tahun Reformasi, UI Kaji Keterwakilan Perempuan dalam Perpolitikan Indonesia

Naas, baru berjalan lima menit, nyawa Balita Martadinata telah tiada. Meilani meninggal di dalam gendongan sang ayah.
"Kami pun berangkat saat itu anak saya muntah-muntah terus, belum lama kami mulai berjalan mungkin sekitar 5 menit lebih anak saya meninggal dalam gendongan saya," ujarnya.
Saat Maradinata menyadari jika Meilani telah meninggal dalam gendongannya, ia terus menguatkan hatinya untuk membawa anaknya ke desa dengan terus berjalan kaki bersama istrinya menempuh jarak 10 km jauhnya.

Baca juga: Ciptakan Jahe Jadi Obat Baru Penyakit Jantung dan Diabetes, Mahasiswi Doktor FKUI Raih IPK Cumlaude

"Setelah sampai di jalan besar atau desa terdekat Desa Gunung Meraksa Lama di situlah saya bertemu polisi yang sedang patroli, disana saya ceritakan kepada mereka lalu saya minta diantar pulang ke Desa Landur," katanya.
Adapun Meilani telah dimakamkan di hari yang sama saat ia meninggal yakni Minggu 2 Juli 2023 di pemakaman umum Desa Landur. (Wartakotalive.com/DES/Tribun Sumsel)