Laporan wartawan TribunnewsDepok.com, Cahya Nugraha
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, BOGOR - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bogor menjatuhi hukum penjara 9 tahun kepada pelaku utama pembacokan ASR alias Tukul dalam perkara pembacokan Arya Saputra yang terjadi pada Jumat (10/3/2023) di Simpang Pomad, Bogor
Vonis ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut kurungan 7,5 tahun.
Penasihat Hukum Tukul, Endeh Herdiani mengatakan bahwa yang memberatkan Tukul dalam persidangan ini adalah lantaran Tukul terbukti sudah dua kali melakukan tindak pidana (Residivis).
"Salah satunya ternyata dalam persidangan terungkap bahwa klien kami sudah dua kali melakukan tindak pidana. Kasus yang ini, satunya dengan yang lain," kata Endeh ditemui usai sidang, Senin (12/6/2023).
"Kedua, klien kami tidak secepatnya datang meminta maaf, itu yang kami tangkap, baik dari dirinya sendiri, atau dari pihak keluarganya tidak segera meminta maaf kepada korban (keluarga) Itu yang sangat disesalkan," sambungnya.
Dihubungi terpisah, Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel mengatakan bahwa hukuman maksimal bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) adalah 10 tahun.
"Alhasil, 9 tahun bisa dibilang sebagai hukuman yang berat, tapi itu bagi ABH pertama kalau bagi ABH berstatus residivis, saya bertanya-tanya 9 tahun itu akan dipakai untuk apa?," ungkap Reza dihubungi Wartakotalive.com.
Baca juga: Keluarga Arya Saputra Kecewa, Tangis Pecah Lantaran Tukul Dihukum 9 Tahun Penjara
"Normatif jawabannya adalah untuk pembinaan. Tapi apa konkretnya pembinaan bagi residivis. Jelas tidak memadai jika fokus hanya pada pemenjaraan," sambungnya.
Bila pembinaan gagal, maka risiko residivisme akan semakin tinggi, ABH semakin berbahaya dan masyarakat semakin terancam jiwanya.
Sisi lain, anak (pelaku) terselamatkan oleh UU Perlindungan Anak, sehingga tidak ada framework meringankan sanksi yang dikenakan kepadanya.
Residivisme di kalangan anak berkonflik dengan hukum (pelaku) jelas menampar rezim rehabilitasi anak.
"Tapi berubah atau tidaknya perilaku anak memang tidak tergantung sepenuhnya pada program rehabilitasi oleh pemerintah, efektivitasnya juga dipengaruhi oleh unsur-unsur di luar lapas anak. Termasuk keluarga, masyarakat, kelompok teman sebaya, dll," jelas Reza.
"Mari kita jawab sendiri, apa beda antara anak berumur 17 tahun dan dewasa berumur 18 tahun? Tidak ada. Inilah konsekuensi pahit ketika kita menetapkan batasan usia anak-anak semata-mata mengacu pada tahun kelahiran," Sambung Reza.
Kemudian, untuk menakar seberapa jauh kemungkinan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, perlu dilakukan Risk Asessment (RA).