TRIBUNNEWSDEPOK.COM, BEJI - Guru Besar FIB UI Ungkap kegagalpahaman dalam menentukan siapa yang disebut budayawan.
Ada beragam definisi budaya, baik berdasarkan bidang ilmu yang berhubungan dengannya, maupun menurut pandangan para pakar, namun Maman Lesmana dalam pidato pengukuhan guru besarnya, Rabu (15/03), di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Kampus Depok,
Maman Lesmana mencoba mendefinisikan kata budaya secara lebih sederhana.
Baca juga: Prof. Omas Bulan Samosir, Ph.D. Dikukuhkan Jadi Guru Besar FEB UI, Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045
Hal ini karena definisi budaya yang beragam memunculkan kebingungan di berbagai aspek, seperti dalam kurikulum pembelajaran, kategorisasi rumpun ilmu, hingga kesesuain gelar dengan keahlian lulusannya.
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) atau Magister Humaniora (M.Hum.), misalnya, kurang tepat dilekatkan kepada lulusan dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, karena mereka bukan seorang ahli budaya, melainkan ahli dari salah satu unsur ilmu budaya, seperti sastra, bahasa, sejarah, dan sebagainya.
Oleh karena itu, lulusan dari Departemen Sejarah lebih nyaman disebut sebagai Sarjana Ilmu Sejarah alih-alih Sarjana atau Magister Humaniora.
Kebingungan dalam mendefinisikan kata budaya ini menyebabkan kegagalpahaman dalam menentukan siapa yang disebut “budayawan”.
Apakah budayawan adalah ahli budaya, seperti halnya sosiolog yang ahli di bidang sosiologi atau antropolog yang ahli di bidang antropologi? Siapa yang pantas mendapatkannya dan siapa yang berhak menyematkannya? Apakah institusi, masyarakat, media, atau panitia seminar? Pertanyaan ini muncul karena belum ada kriteria tertentu untuk menyebut seseorang sebagai budayawan.
Menurut Maman, ada guru dan rekan sejawatnya di kampus yang sudah pakar betul dengan ilmu budaya, baik dari aspek teori maupun praktik, tetapi tidak ada yang memanggilnya “budayawan”.
Di sisi lain, ada orang yang hanya menulis beberapa fiksi dan esai sastra, tampil di beberapa drama dan aktif di kegiatan pusat kebudayaan tertentu, sudah disebut sebagai “budayawan”.
Baca juga: Berawal dari Hobi, 4 Mahasiswa UI Ciptakan Kado Customized yang Diberi Nama Cubify
Kebingungan tersebut akhirnya memicu Maman untuk mencari alternatif definisi yang lebih cocok dan mudah untuk dipahami.
Etimologi kata budaya yang berasal dari kata budi dan daya dijadikan alternatif untuk definisi sederhana dari kata tersebut.
“Ketika masih kecil, saya pernah mendengar bahwa kata budaya, secara etimologi berasal dari gabungan dua kata, yaitu budi dan daya. Saya tidak tahu itu sumbernya dari mana, tetapi saya percaya bahwa kata itu benar adanya, dan dapat dijadikan salah satu alternatif dalam pemahaman tentang definisi dari budaya,” kata Maman.
Maman menemukan adanya unsur semiotika (tanda) pada kedua kata tersebut.
Kata budi yang mendahului kata daya menunjukkan posisi kata budi yang lebih penting daripada kata daya.