Penataan Kawasan Puncak
Penataan Kawasan Puncak, IAW Desak Audit Investigatif Skandal KSO PTPN I Regional 2
Praktik alih fungsi lahan ilegal, manipulasi izin, hingga kerusakan lingkungan menjadi catatan hitam dalam pengelolaan aset BUMN tersebut.
Penulis: Hironimus Rama | Editor: murtopo
Laporan Wartawan Wartakotalive.com Hironimus Rama
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, CIBINONG - Setelah mencuatnya dugaan skema "boneka" dalam kerja sama BUMD Jawa Barat, PT Jaswita, dan PT Perkebunan Nusantara VIII (kini menjadi PTPN I Regional 2-Red) dalam proyek Hibisc Fantasy, skandal penerbitan izin di kawasan Puncak, Bogor kini memasuki babak baru yang lebih mencengangkan.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengendus adanya penyimpangan oleh tenant yang menjadi mitra PTPN I Regional 2 melalui skema Kerja Sama Operasi dan Koperasi Serba Usaha (KSU).
Saat ini sebanyak 33 Kerja Sama Operasi (KSO) PT. Perkebunan Nusantara I Regional 2 dievaluasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai buntut dari banjir bandang yang melanda kawasan Jabodetabek pada 2-4 Maret 2025.
Tenant-tenant yang bermitra dengan PTPN I Regional 2 ini terbukti melanggar aturan pengelolaan lahan dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Baca juga: Penataan Kawasan Puncak Bogor Masih Berlanjut, Kemenhut Segel 4 Vila di Cisarua
Praktik alih fungsi lahan ilegal, manipulasi izin, hingga kerusakan lingkungan menjadi catatan hitam dalam pengelolaan aset BUMN tersebut.
Temuan KLH ini memicu respons keras dari Indonesian Audit Watch (IAW).
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera turun tangan melakukan audit investigatif menyeluruh terhadap PTPN.
"Temuan KLH ini harus menjadi pemicu untuk membongkar lebih dalam jaringan kerja sama yang melibatkan PTPN I Regional 2 dan tenant bermasalah," kata Iskandar di Cibinong, Senin (17/3/2025).
Dia meminta Menteri KLH tidak boleh berdiam diri dengan berbagai pelanggaran ini. Apalagi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memiliki komitmen kuat memberantas pelanggaran terkait hutan.
"Ini bukan lagi soal perizinan semata. Temuan KLH membuktikan pola berulang yakni BUMN seperti PTPN I Regionel 2 seolah dijadikan lahan bisnis gelap oleh pihak-pihak tertentu dengan melibatkan tenant dan KSU bermasalah," ujarnya.
Baca juga: Kawasan Puncak Dilanda Banjir Bandang, Ini Kata Pakar Perencanaan Wilayah IPB
Menurut Iskandar, BPK harus segera turun tangan dengan audit investigatif.
"Ini bukan uang PTPN semata. Ini uang negara, uang rakyat," tegas Iskandar.
Bila dugaan penyelewengan izin itu benar, lanjut Iskandar, maka dampaknya bukan hanya kerusakan lingkungan, tetapi juga kerugian keuangan negara.
"Kami melihat pola besar di sini. Kerja sama operasional (KSO) yang melibatkan tenant dan koperasi ini harus diurai sampai ke akar-akarnya," tuturnya.
"Jangan sampai BUMN cuma jadi alat bisnis kelompok tertentu, sementara negara dan rakyat yang menanggung kerugian," tambahnya.
Baca juga: Warga Puncak Bogor Dukung Gubernur Dedi Mulyadi Bongkar Hisbisc Fantasy, Ingin Kawasan Puncak Hijau
Iskandar mengungkapkan beberapa temuan kunci KLH terkait penerbitan izin oleh PTPN di kawasan Puncak, Bogor.
1. Alih fungsi lahan tanpa izin. Ini terungkap dari kasus BUMD Jabar dan sekarang KLHK menemukan bahwa sejumlah tenant dan KSU mengalihkan fungsi lahan perkebunan menjadi area komersial tanpa izin resmi dari pemerintah.
Praktik ini melanggar UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan berpotensi menyebabkan degradasi lingkungan.
2. Pelanggaran terhadap regulasi lingkungan dimana kegiatan tenant dan KSU tidak memenuhi standar pengelolaan lingkungan, mengakibatkan pencemaran dan kerusakan ekosistem di sekitar area operasional.
Ini bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Ketidaksesuaian KSU dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini terbukti dari beberapa proyek tenant dan KSU diketahui tidak sesuai dengan RTRW yang berlaku.
Ini menunjukkan kurangnya koordinasi dan perencanaan yang matang dalam pelaksanaan proyek tersebut.
"Analisis penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara terlihat dari temuan KLHK tersebut. Ini bukan sekadar soal izin dan lingkungan,"imbuhnya.
IAW menilai ada pelanggaran serius dari segi hukum dan potensi kerugian keuangan negara.
"Tindakan alih fungsi lahan tanpa izin dan pelanggaran regulasi lingkungan adalah pelanggaran hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta UU No. 32 Tahun 2009," jelas Iskandar.
Penyimpangan dalam pengelolaan lahan ini berpotensi menyebabkan kerugian finansial bagi negara, baik dari hilangnya pendapatan sektor perkebunan maupun biaya pemulihan lingkungan.
Hal ini melanggar UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).
Iskandar menegaskan bahwa pola penyimpangan ini sangat berpotensi melibatkan unsur korupsi dan abuse of power oleh oknum-oknum yang memanfaatkan kerja sama BUMN untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
"Kalau lahan negara dialihfungsikan tanpa izin dan tenant-tenant ini bebas beroperasi, siapa yang bertanggung jawab? Ini bukan sekadar pelanggaran administratif," ucapnya.
Dengan berbagai persoalan ini, Indonesian Audit Watch menegaskan bahwa BPK, KPK, Kejaksaan, dan Polri harus bersinergi agar skema bisnis gelap yang merugikan negara bisa dibongkar hingga ke akar-akarnya.
"Kami mendesak agar KPK, Kejaksaan, dan Polri bersinergi. Ini bisa masuk ranah Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi,” papar Iskandar.
Jika audit investigatif ini dilakukan, IAW yakin akan terbongkar lebih banyak penyimpangan.
"Ini bukan soal proyek wisata atau bisnis biasa. Ini soal penyelamatan aset negara yang telah dikelola seenaknya. Sekarang waktunya KLHK dan aparat hukum untuk menuntaskan," tandas Iskandar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.