Nasional

Tolak Program Tapera, Warga Minta Pemerintah Jangan Mengakali dan Memiskinkan Rakyat

Tak main-main, besaran simpanan yang akan dipotong pemerintah dari gaji bulanan pekerja adalah 2,5 persen dan 0,5 persen dari pemberi kerja.

Editor: murtopo
tapera.go.id
Ilustrasi Tapera -- Kewajiban iuran Tapera merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam menyediakan pembiayaan perumahan untuk Masyarakat Berpendapatan Rendah atau MBR. 

"Itu juga kan klaimnya lama misalkan 30 tahun, gaji gue hari ini Rp 5 juta, berarti Rp 150.000 perbulan setor, paling 30 tahun cuma dapat berapa? apakah bisa menjamin klaimnya bisa dipercepat, klaim bisa gampang, segampang mereka motong gaji di payroll?" tanya Dimas.

Dimas berujar, pertanyaan itu muncul di benaknya lantaran ia kerap mendapati banyaknya kasus lembaga keuangan yang lalai memberikan hak pesertanya.

Oleh karena itu, peraturan Tapera ini membuatnya bertanya-tanya terkait apa dasar pemerintah melakukan hal ini.

"Apa ini hanya sekadar cara negara untuk menekan kelas menengah jadi kelas miskin? ya kasihan di kelas menengah kalau kayak gini," ungkap Dimas.

"Kami gajinya cuma segitu, udah dipotong ini itu, belum lagi dipotong BPJS. Bingung nanti mau hidup pakai apa, sementara kami ada cicikan lain," lanjutnya.

Senada dengan Dimas, seorang pekerja swasta lain bernama Xena (23) memandang bahwa tidak semua orang di Indonesia terdesak membeli rumah.

Sebagaimana dirinya misalnya. Xena mengaku lebih ikhlas uangnya dipotong untuk kebutuhan primer dibandingkan menyimpan pada negara yang belum jelas klaimnya.

"Enggak setuju, soalnya merasa bahwa saat ini lagi enggak dalam prioritas membeli rumah, dan ada banyak hal yang masih pengen aku kejar duluan," kata Xena kepada Warta Kota, Kamis.

"Misal aku pengen punya tabungan yang mapan dulu, tabungan yang emang simpanan dulu, pengen bentuk dana darurat sampai stabil," imbuhnya.

Selain itu, Xena memandang jika peraturan terkait Tapera itu tidak mengedepankan asas keadilan.

Pasalnya, semua pekerja seakan dipaksa untuk membayar 2,5 % gajinya setiap bulan secara otomatis, tanpa ada persetujuan.

Apalagi di tempat kerjanya sekarang, Xena bahkan tidak mendapatkan ansuransi BPJS dan tunjangan hari raya (THR).

"Menurutku engak adil rasanya untuk membebankan sesuatu tanpa persetujuan, sementara di dunia ini masih meraung-raung," jelasnya.

Oleh karena itu, Xena berharap pemerintah bisa mempertimbangkan lagi peratutan yang tidak menyulitkan masyarakat.

Seumpama Tapera ingin dijalankan, lanjut Xena, pemerintah sebaiknya memberi opsi mendaftar dan tidak mendaftar kepada rakyatnya.

Pasalnya, Xena takut uang tersebut dipakai oleh oknum pejabat yang tidak bertanggung jawab untuk memperkaya diri sendiri.

"Takut (dikorupsi), makanya mendingan pakai instrumen investasi lain. Jadi, kayaknya masihbanyak kebijakan yang perlu ditata dulu, enggak usah ditambah-tambah lagi," pungkasnya. (m40)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved