Nasional
Tolak Program Tapera, Warga Minta Pemerintah Jangan Mengakali dan Memiskinkan Rakyat
Tak main-main, besaran simpanan yang akan dipotong pemerintah dari gaji bulanan pekerja adalah 2,5 persen dan 0,5 persen dari pemberi kerja.
Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Nuri Yatul Hikmah
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, PALMERAH — Masyarakat kelas pekerja di Indonesia dibuat meradang dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Bagaimana tidak, peraturan itu berisikan pernyataan bahwa pemerintah akan mewajibkan pekerja swasta membayar iuran dari upah bulanan mereka untuk Tapera.
Tak main-main, besaran simpanan yang akan dipotong pemerintah dari gaji bulanan pekerja adalah 2,5 persen dan 0,5 persen dari pemberi kerja.
Adapun untuk pekerja mandiri, dana kelolaan akan diatur langsung oleh Badan Pengelola (BP) Tapera.
Hal itu sontak menimbulkan kritik pedas masyarakat, terutama pekerja Gen Z yang merasa kian terdesak di tengah tuntutan kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Masyarakat Banyak yang Menolak Tapera, Mensejahterakan Belum Tapi Pemerintah Terus Membebani
Salah satu pekerja swasta di Jakarta bernama Dimas (26), mengaku tidak setuju dengan aturan tersebut karena dianggap menyekik masyarakat kelas menengah.
Bahkan, Dimas beranggapan jika pemerintah terus tutup kuping dan tak mendengar aspirasi rakyat, hal ini seakan menjadi upaya untuk memiskinkan masyarakat kelas menengah. Bukan lagi untuk menyejahterakan.
"Pemerintah enggak usah terlalu mengakali rakyat kelas menengah ataupun menekan kelas menengah, karena dari beberapa kebijakan yang ada, kelas menengah itu yang sebenarnya dirugikan," kata Dimas kepada Warta Kota di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (30/5/2024).
Baca juga: Ekonom Sebut Iuran Tapera Belum Tentu Bisa Atasi Kebutuhan Rumah bagi Masyarakat di Indonesia
"Suruh bayar ini itu, sementara gaji enggak naik-naik dari perusahaan, masa mau tercekik lagi sih," imbuhnya.
Salah satu hal yang memberatkan menurut Dimas adalah rakyat seakan dipaksa untuk ikut kebijakan, tanpa bisa menentukan sendiri pilihan hidupnya.
Padahal bisa jadi, lanjut dia, masyarakat juga tengah menabung dan menyisihkan uang untuk keperluan yang lebih mendesak, daripada menyimpan kepada negera.
Baca juga: Masyarakat Tolak Mentah-mentah Iuran Tapera, Pengamat: Presiden Jokowi Perlu Membatalkannya
Tak ayal, Dimas pun menjadi khawatir apabila upaya ini hanya dalih pemerintah dalam berinvestasi menggunakan uang rakyat.
"Kurang sepakat dengan Tapera ini, karena menurutku masih ngawang (berbayang). Konsepnya itu kan wajib kena potongan 3 persen untuk karyawan swasta juga, itu kalau aku gajinya Rp 5 juta, terus posisinya udah kredit rumah atau bangun runah, ya kan ada cicilan juga. Masa harus mengikuti prosedur Tapera yang sama juga fungsinya?" kata Dimas.
Belum lagi, Dimas mengkhawatirkan soal pencarian dana tersebut apakah akan semudah tatkala pemerintah memotong gaji bulanan, atau justru dipersulit.
Baca juga: Hidup Sudah Susah, Buruh Gajinya Dipotong 2,5 Persen untuk Tabungan Perumahan Rakyat. Ini Aturannya
"Itu juga kan klaimnya lama misalkan 30 tahun, gaji gue hari ini Rp 5 juta, berarti Rp 150.000 perbulan setor, paling 30 tahun cuma dapat berapa? apakah bisa menjamin klaimnya bisa dipercepat, klaim bisa gampang, segampang mereka motong gaji di payroll?" tanya Dimas.
Dimas berujar, pertanyaan itu muncul di benaknya lantaran ia kerap mendapati banyaknya kasus lembaga keuangan yang lalai memberikan hak pesertanya.
Oleh karena itu, peraturan Tapera ini membuatnya bertanya-tanya terkait apa dasar pemerintah melakukan hal ini.
"Apa ini hanya sekadar cara negara untuk menekan kelas menengah jadi kelas miskin? ya kasihan di kelas menengah kalau kayak gini," ungkap Dimas.
"Kami gajinya cuma segitu, udah dipotong ini itu, belum lagi dipotong BPJS. Bingung nanti mau hidup pakai apa, sementara kami ada cicikan lain," lanjutnya.
Senada dengan Dimas, seorang pekerja swasta lain bernama Xena (23) memandang bahwa tidak semua orang di Indonesia terdesak membeli rumah.
Sebagaimana dirinya misalnya. Xena mengaku lebih ikhlas uangnya dipotong untuk kebutuhan primer dibandingkan menyimpan pada negara yang belum jelas klaimnya.
"Enggak setuju, soalnya merasa bahwa saat ini lagi enggak dalam prioritas membeli rumah, dan ada banyak hal yang masih pengen aku kejar duluan," kata Xena kepada Warta Kota, Kamis.
"Misal aku pengen punya tabungan yang mapan dulu, tabungan yang emang simpanan dulu, pengen bentuk dana darurat sampai stabil," imbuhnya.
Selain itu, Xena memandang jika peraturan terkait Tapera itu tidak mengedepankan asas keadilan.
Pasalnya, semua pekerja seakan dipaksa untuk membayar 2,5 % gajinya setiap bulan secara otomatis, tanpa ada persetujuan.
Apalagi di tempat kerjanya sekarang, Xena bahkan tidak mendapatkan ansuransi BPJS dan tunjangan hari raya (THR).
"Menurutku engak adil rasanya untuk membebankan sesuatu tanpa persetujuan, sementara di dunia ini masih meraung-raung," jelasnya.
Oleh karena itu, Xena berharap pemerintah bisa mempertimbangkan lagi peratutan yang tidak menyulitkan masyarakat.
Seumpama Tapera ingin dijalankan, lanjut Xena, pemerintah sebaiknya memberi opsi mendaftar dan tidak mendaftar kepada rakyatnya.
Pasalnya, Xena takut uang tersebut dipakai oleh oknum pejabat yang tidak bertanggung jawab untuk memperkaya diri sendiri.
"Takut (dikorupsi), makanya mendingan pakai instrumen investasi lain. Jadi, kayaknya masihbanyak kebijakan yang perlu ditata dulu, enggak usah ditambah-tambah lagi," pungkasnya. (m40)
Masyarakat Banyak yang Menolak Tapera, Mensejahterakan Belum Tapi Pemerintah Terus Membebani |
![]() |
---|
Ekonom Sebut Iuran Tapera Belum Tentu Bisa Atasi Kebutuhan Rumah bagi Masyarakat di Indonesia |
![]() |
---|
Masyarakat Tolak Mentah-mentah Iuran Tapera, Pengamat: Presiden Jokowi Perlu Membatalkannya |
![]() |
---|
Hidup Sudah Susah, Buruh Gajinya Dipotong 2,5 Persen untuk Tabungan Perumahan Rakyat. Ini Aturannya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.