Pemilu 2024

Penggelembungan Suara PSI Disebut-sebut Sebagai Pengalihan Isu Hak Angket

Menurut Feri motif penggelembungan suara PSI tidak hanya sekadar meloloskan parpol yang dipimpin anak Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu ke DPR.

Editor: murtopo
Istimewa
Logo Partai Solidaritas Indonesia (PSI). 

Laporan wartawan wartakotalive.com Yolanda Putri Dewanti

TRIBUNNEWSDEPOK.COM JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan penggelembungan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk mengalihkan perhatian dari hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024.

Menurut Feri motif penggelembungan suara PSI tidak hanya sekadar meloloskan parpol yang dipimpin anak Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu ke DPR,  juga untuk mengalihkan isu dari kecurangan pilpres menjadi isu kecurangan PSI.

"Bagi saya kecurangan terang benderang ini motifnya tidak sekadar meloloskan PSI, tetapi isunya juga beralih dari isu kecurangan pilpres menjadi isu kecurangan PSI," ucap dia dalam keterangannya, Selasa (5/3/2024).

Aktor film dokumenter “Dirty Vote” itu menyebut, penggelembungan suara PSI terlalu terang benderang, hampir tidak mungkin dalam batas penalaran yang wajar terjadi penggelembungan suara sangat besar di saat terakhir dari 2,5 persen menjadi 3,7 persen terjadi kenaikan 1,2 persen.

Baca juga: Kata Timnas AMIN soal Suara PSI Naik: Biarlah Publik Menilai Bobroknya Pemilu Saat Ini

“Kalau dilihat rutenya akan tembus 4 persen. Trennya cepat dibanding pollster PSI dengan Prabowo-Gibran saat Jokowi menyatakan cawe-cawe langsung naik perolehan suara Prabowo-Gibran. Disesuaikan dengan kebutuhan Jokowi, dan kebutuhan parpol anak Jokowi,” ujar dia.

Dia juga menyinggung analisis politik yang tidak angkat bicara perihal kenaikan perolehan suara PSI yang tidak masuk akal dan curang. 

"Ini bagian dari mendukung kecurangan. Kebetulan publik tidak nyaman dengan partai anak presiden lolos parlemen," tegas dia.

Baca juga: Suara PSI Meroket, Pengamat: Sesama Politisi Paham Tak Mungkin Simsalabim Langsung Melonjak

Hak Angket Makin Kuat

Feri menegaskan, bahwa wacana menggulirkan hak angket semestinya semakin menguat dengan munculnya penggelembungan suara PSI, karena ini mengindikasikan ada hal-hal yang tidak benar pada Pemilu 2024 yang harus diselidiki di parlemen.

Adapun, subjek hukum dari hak angket adalah eksekutif dan dalam konteks ini adalah Presiden Jokowi, karena dia secara terbuka mengatakan cawe-cawe dalam Pemilu 2024 dan secara terbuka mengatakan menggunakan data intelijen untuk mengetahui dapur parpol lain.

Menurutnya, kalau KPU bukan lembaga eksekutif tetapi komisi independen. Meski demikian, DPR bisa memanggil KPU untuk dimintai keterangan sebagai saksi.

Baca juga: Suara PSI Mendadak Meroket Dalam Sehari, Pengamat: Ini Cukup Aneh

Feri mencontohkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Richard Nixon dimakzulkan dan mundur dari jabatan presiden karena cawe-cawe menggunakan data intelijen untuk mengetahui ‘dapur’ parpol lawannya.

Dia menambahkan bahwa syarat untuk mengajukan hak angket bukan hal sulit karena membutuhkan tandatangan 25 anggota DPR dari dua fraksi berbeda.

Kemudian, untuk mengegolkan hak angket harus memenuhi syarat rapat paripurna dihadiri 288 anggota DPR dan setengah dari anggota yang hadir menyetujui hak angket.

“Angkanya mudah sekali. Seharusnya dengan PDI Perjuangan, Partai Nasdem, PKS, PKB, PPP total ada 314 kursi,” jelas dia.(m27)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved