Kriminalitas

Mutilasi Bekasi Terjadi di Desember, Motif Ekonomi, Hilangkan Jejak atau Balas Dendam? Ini Kajiannya

Kasus mutilasi perempuan di Tambun Bekasi, motif ekonomi, hilangkan jejak atau balas dendam? Ini kajiannya.

Penulis: dodi hasanuddin | Editor: dodi hasanuddin
Wartakotalive.com
Mutilasi Bekasi Terjadi di Desember, Motif Ekonomi, Hilangkan Jejak atau Balas Dendam? Ini Kajiannya. 

Faktor sosial juga turut berperan, seperti ketidaksetujuan orangtua dan pasangan perempuan, dorongan serta reinforcement dari teman sebaya. Secara umum, individu cenderung membuat keputusan yang sepertinya rasional untuk mereka, namun orang dengan AP yang rendah tidak akan melakukan tindak kriminal walaupun hal tersebut sepertinya rasional.

Sebaliknya, tingkat AP jangka pendek yang tinggi (misal: disebabkan oleh mabuk atau amarah)
dapat memicu individu untuk melakukan tindak kekerasan walaupun hal tersebut tidak rasional.

Namun, dengan dilakukannya tindak kekerasan hal ini dapat mempengaruhi dan mengubah AP
jangka panjang, karena telah terjadi suatu proses pembelajaran, sehingga proses kognitif dalam
pengambilan keputusan di masa yang akan datang pun akan berubah.

Pengaruh ini akan lebih mungkin terjadi apabila individu mendapatkan konsekuensi yang memberikan reinforcement (misal: mendapatkan kenikmatan) atau punishment (misal: mendapatkansanksi hukum).

Selain itu apabila perilaku/tindak kekerasan mengakibatkan individu mendapatkan label/stigma, maka akan semakin sulit untuk dirinya mendapatkan apa yang ia inginkan secara legal, sehingga dapat meningkatkan AP individu tersebut.

Pendekatan ini secara eksplisit mencoba untuk mengintegrasikan teori perkembangan dan situasional.

Interkasi antara individu dengan lingkungan terlihat dari keputusan yang diambil oleh individu dalam siatuasi yang memungkinkan dilakukan tindak kriminal, yang pada dasarnya bergantung padapotensi untuk perilaku antisosial dan pada faktor-faktor situasional (risiko, keuntungan, dan probabilitas).

Selain itu, panah dua arah menunjukkan adanya kemungkinan bahwa dengan adanya kesempatan untuk
melakukan tindakan kriminal dapat meningkatkan AP jangka pendek, dan sebaliknya.

Teori ini juga memiliki elemen kognitif (persepsi, memori, dan pengambilan keputusan), dan juga
pendekatan social learning dan causal risk factor.

Hasil analisis mengenai apa yang menyebabkan orang bertindak agresif sampai menghilangkan nyawa orang lain, dan sampai hati atau tega melakukan mutilasi, pada kasus mutilasi di Indonesia dapat dikatakan masih lemah.

Seperti yang telah dijelaskan pada pengantar penulisan, bahwa sumber data utama yang dijadikan rujukan untuk menganalisis predisposisi pelaku mutilasi hingga menyimpulkan melakukan pembunuh,
lalu mengahiri dengan memutilasi korban berasal dari media massa yang berbeda kepentingannya
(kepentingan jurnalistik) dengan kepentingan akademik.

Data tentang mutilasi yang diberitakan oleh media massa amatlah terbatas, kering, dan bombastis.

Di luar Indonesia sendiri, sebenarnya telah banyak yang menjelaskan mengenai karakteristik dan kebolehjadian pelaku kejahatan, namun sifatnya sangat konstekstual dan tidak menggambarkan secara khusus karakteristik pelaku kejahatan di Indonesia.

Ini berarti bahwa urgensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut melalui pengambilan data yang mendalam dan menyeluruh, serta spesifik Indonesia sangat mendesak.

Diharapkan dari data yang terkumpul kelak akan diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai karakteristik pelaku mutilasi, sehingga dapat mempersempit tersangka pelaku pembunuhan.

Pengakuan dari petugas penegak hukum yang melakukan penyelidikan pembunuhan mutilas , korban biasanya sulit untuk diidentifikasi.

Dampak dari kesulitan mengidentifikasi korban merupakan kendala untuk me l akukan identifika s i pe l aku pembunuhan.

Berbagai teori yang mencoba menjelaskan tindak kekerasan, seperti peran faktor genetis, kepribadian, sosioekonomi, tekanan, insting, dan rasionalisasi, menurut Farrington, belum dapat menjelaskan secara
keseluruhan.

Hal ini karena teori-teori tersebut berdiri sendiri-sendiri dan tidak mempertimbangkan teori lainnya. Bagi teoritisi yang menilai kasus pembunhan berdasarkan gejala rasionalitas, teoritisi tersebut terlalu cepat
menyimpulkan karena pelaku pembunuhan, seperti manusia yang lainnya juga memiliki masa
lalu.

Sementara bagi teoritisi yang hanya menilai berdasarkan peyelidikan mengenai masa lalu pelaku pembunuhan, teoritis itu juga terlalu cepat menyimpulkan karena pelaku pembunuhan memiliki logika berpikir.

Ada tiga faktor penting yang perlu diperhatikan berkenaan dengan predisposisi pelaku kejahatan, yaitu doronganatau rangsangan melakukan kejahatan, antisosial model, dan kelekatan pada tindak kejahatan.

Dorongan melakukan tindakan kejahatan ini dapat dipicu karena pekerjaan dan penghasilan yang tidak
stabil.

Model antisosial dapa tterjadi dari orangtua yang kriminal, teman-teman yang delinquent, dan lingkungan yang buruk, sehingga memberikan model tentang antisosial.

Selanjutnya, sosialisi antisosial dapat terjadi dari kehidupan masa lalu yang buruk, keluarga yang berantakan, dan adanya kecemasan yang rendah.

Jika seseorang telah memiliki model antisosial, doronganatau pemicu, dan kelekatan pada dunia kejahatan, menurut Farrington (2007) orang tersebut hanya perlu menunggu motivasi dan situasi yang memicunya.

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved