Kriminalitas

Mutilasi Bekasi Terjadi di Desember, Motif Ekonomi, Hilangkan Jejak atau Balas Dendam? Ini Kajiannya

Kasus mutilasi perempuan di Tambun Bekasi, motif ekonomi, hilangkan jejak atau balas dendam? Ini kajiannya.

Penulis: dodi hasanuddin | Editor: dodi hasanuddin
Wartakotalive.com
Mutilasi Bekasi Terjadi di Desember, Motif Ekonomi, Hilangkan Jejak atau Balas Dendam? Ini Kajiannya. 

TRIBUNNEWSDEPOK.COM,  JAKARTA - Mutilasi perempuan di Tambun Bekasi, motif ekonomi, hilangkan jejak atau balas dendam? Ini kajiannya.

Kasus mutilasi kembali lagi terjadi di Bekasi. Sebelumnya pada tahun 2020 terjadi mutilasi di Kalimalang, Bekasi. Persitiwa itu terjadi pada bulan Desember.

Pada kasus mutilasi di tahun 2021 juga diketahui terjadi di bulan Desember. Peristiwa itu terjadi di Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi.

Saat ini kasus mutilasi di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi terungkap pada bulan Desember.

Jenazah korban berjenis kelamin perempuan yang dimutilasi ditemukan polisi di sebuah kontrakan di Kampung Buaran, Desa Lambangsari, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada Jumat pagi tadi.

Baca juga: Gali Identitas Korban & Motif Pelaku Mutilasi di Bekasi, Polisi Libatkan Tim Psikologi Forensik

Potongan tubuh perempuan ini ditemukan di kamar mandi, terletak di dalam kantong plastik hitam yang dimasukkan ke kontainer plastik.

Meski demikian saat ini polisi belum mengetahui identitas perempuan yang dimutilasi tersebut.

Polisi telah berhasil menangkap sang pelaku bernama M Ecky Listiantho. Polisi menemukan MEL tak jauh dari rumah kontrakan itu, dan menangkapnya dengan dugaan sebagai pelaku pembunuhan mutilasi tersebut

Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi, mengatakan tim kedokteran forensik tengah melakukan autopsi mayat perempuan tersebut pada Jumat (30/12) malam.

"Diduga jenazah ini sudah disimpan cukup lama di TKP," ujar mantan Kapolres Metro Jakarta Pusat tersebut.

Menurut Hengki, saat ini Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya sudah berkoordinasi dan berkolaborasi dengan tim Laboratorium Forensik dan Kedokteran Forensik untuk melaksanakan penyelidikan lanjutan.

"Olah TKP pun sudah dilaksanakan secara bersama dengan tim Inafis Polda Metro Jaya maupun Labfor Polri," tandas Hengki.

Kajian Tentang Perilaku Memutilasi di Indonesia

Tiga mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melakukan penelitian tentang Perilaku Memutilasi di Indonesia.

Ketiga mahasiswa itu adalah M. Enoch Markum, Idhamsyah Eka Putra, dan Alfindra Primadlhi

Garis besar penelitian ketiga mahasiswa FPsi UI itu tentang Perilaku Memutilasi di Indonesia menyebutkan bahwa dimensi mutilasi, yakni mutilasi individual (individual mutilation). Di samping ini terdapat mutilasi kolektif (collective mutilation), seperti pada saat kerusuhan suku Dayak dan Madura di Kalimantan Barat, pada tahun2002, 

Sejauh ini uraian tentang mutilasi menekankan pada perspektif individu pelaku mutilasi dengan motif ekonomi, balas dendam, dan menghilangkan identitas korban

Dari berbagai macam jenis mutilasi, secara umum setidaknya Karger, Rand, dan Brinkman (2000) membagi jenis mutilasi kepada mutilasi defensive dan offensive.

Mutilasi defensif (Defensive Mutilation), atau disebut juga sebagai pemotongan/pemisahan anggota badan dengan tujuan untuk menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi.

Motif rasional dari pelaku adalah untuk menghilangkan tubuh korban sebagai barang bukti atau untuk menghalangi diidentifikasikannya potongan tubuh korban.

Mutilasi Kriminal

Uraian terdahulu menggambarkan bahwa mutilasi memiliki beberapa dimensi, seperti
dimensi perencanaan (direncanakan-tidak direncanakan), dimensi pelaku (individukolektif), dan dimensi ritual atau inisiasi, serta dimensi motif yang hanya disinggung secara sekilas (balas dendam, memiliki harta orang lain, dan memperoleh atau menambah kekuatan).

Dengan demikian, perbuatan memutilasi tidak dapat dipukul rata sebagai tindakan kriminal yang
dapat dikenakan sanksi pidana. Namun, untuk kepentingan forum akademik saat ini, kami
membatasi pembahasan pada mutilasi kriminal.

Mutilasi ofensif (offensive mutilation), adalah suatu tindakan irasional yang dilakukan dalam
keadaan mengamuk, "frenzied state of mind". Mutilasi kadang dilakukan sebelum membunuh
korban.

The Integrated Cognitive Antisocial Potential (ICAP)

Teori Integrated Cognitive Antisocial Potential (ICAP) diciptakan untuk menjelaskan perilaku kriminal yang dilakukan oleh pria dengan status ekonomi dan sosial rendah. Namun, dalam perkembangnya kemudian dimodifikasi untuk menjelaskan tindakan kekerasan (violence).

Kata integrated dalam teori ini mengacu pada penggabungan beberapa ide dari teori-teori lain,
termasuk teori strain, control, labeling, dan rational choice approaches.

Konstruksi utama teori ini adalah Antisocial Potential (AP), yang mengasumsikan bahwa perubahan dari antisocial potential menjadi tindakan antisosial dan kekerasan bergantung para proses kognitif
(berpikir dan pengambilan keputusan) yang juga memperhitungkan kesempatan (criminal opportunity) dan adanya korban (victim).

Yang dimaksud dengan AP adalah potensi untuk melakukan tindakan antisosial, termasuk
tindakan kekerasan. AP terbagi dua, jangka panjang (long term) dan jangka pendek (short
term).

Masing-masing individu memiliki perbedaan dalam AP jangka panjang dan AP jangka pendek. Pada AP jangka panjang, faktor-faktor yang berpengaruh adalah impulsiveness, tekanan (strain), tokoh panutan (modeling) dan proses sosialisasi, dan pengalaman hidup.

Sementara pada AP jangka pendek bergantung pada motivasi dan faktor situasional. Teori ICAP
mengemukakan bahwa faktor keluarga, teman sebaya, sekolah, dan lingkungan, akan berpengaruh terhadap potensi individu untuk melakukan tindak kekerasan.

Motif utama yang dapat memberikan kekuatan (energizer) timbulnya AP jangka panjang yang tinggi adalah keinginan memiliki materi, status sosial dalam penjara, kegembiraan, dan kepuasan seksual.

Akan tetapi, motivasi ini hanya akan mengakibatkan AP yang tinggi apabila metode antisosial digunakan secara rutin untuk memenuhi keinginan individu yang bersangkutan.

Metode antisosial cenderung digunakan oleh individu yang merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka secara sah. Seperti pada orang yang berpenghasilan rendah, tidak bekerja, dan mereka yang gagal di sekolah.

Namun, metode yang digunakan akan bergantung pada kemampuan fisik dan keahlian yang dimiliki
oleh individu

Bedasarkan Teori ICAP

Tindakan kriminal dan perilaku antisosial bergantung pada interaksi antara individu (dengan tingkat AP pada saat itu) dengan lingkungan sosialnya (khususnya kesempatan untuk melakukan tindakan kriminal
dan adanya korban).

Potensi jangka panjang dan jangka pendek terhadap tindak kekerasan terakumulasi pada individu.

Potensi jangka pendek berbeda-beda pada individu tergantung pada faktor-faktor energizing , seperti merasa bosan, marah, mabuk, atau frustrasi karena diolok-olok oleh teman.

Kesempatan melakukan tindakan kriminal dan keberadaan calon korban bergantung pada aktivitas rutin individu.

Berada dalam kondisi/situasi yang memungkinkan untuk dilakukannya tindakan kriminal, atau adanya
calon korban, dapat meningkatan potensi antisosial jangka pendek.

Sebaliknya,meningkatnya potensi antisosial jangka pendek dapat memotivasi individu untuk melakukan
tindak kriminal danmencari korban.

Selanjutnya tatkala individu dihadapkan dalam situasi yang memungkinkan dilakukannya
tindak kekerasan, diwujudkan atau tidaknya tindak kekerasan bergantung padaproses kognitif.

Seperti mempertimbangkan keuntungan subjektif, risiko, dan probabilitas hasil yang akan
diperoleh dari masing-masing tindakan bedasarkan pengalaman dan kemampuan yang
dimiliki.

Persepsi keuntungan dan risiko subjektif mengacu pada faktor situasional langsung, seperti persepsi mengenai manfaat (utility) menyakiti korban, dan seberapa besar kemungkinan akan ditangkap polisi.

Faktor sosial juga turut berperan, seperti ketidaksetujuan orangtua dan pasangan perempuan, dorongan serta reinforcement dari teman sebaya. Secara umum, individu cenderung membuat keputusan yang sepertinya rasional untuk mereka, namun orang dengan AP yang rendah tidak akan melakukan tindak kriminal walaupun hal tersebut sepertinya rasional.

Sebaliknya, tingkat AP jangka pendek yang tinggi (misal: disebabkan oleh mabuk atau amarah)
dapat memicu individu untuk melakukan tindak kekerasan walaupun hal tersebut tidak rasional.

Namun, dengan dilakukannya tindak kekerasan hal ini dapat mempengaruhi dan mengubah AP
jangka panjang, karena telah terjadi suatu proses pembelajaran, sehingga proses kognitif dalam
pengambilan keputusan di masa yang akan datang pun akan berubah.

Pengaruh ini akan lebih mungkin terjadi apabila individu mendapatkan konsekuensi yang memberikan reinforcement (misal: mendapatkan kenikmatan) atau punishment (misal: mendapatkansanksi hukum).

Selain itu apabila perilaku/tindak kekerasan mengakibatkan individu mendapatkan label/stigma, maka akan semakin sulit untuk dirinya mendapatkan apa yang ia inginkan secara legal, sehingga dapat meningkatkan AP individu tersebut.

Pendekatan ini secara eksplisit mencoba untuk mengintegrasikan teori perkembangan dan situasional.

Interkasi antara individu dengan lingkungan terlihat dari keputusan yang diambil oleh individu dalam siatuasi yang memungkinkan dilakukan tindak kriminal, yang pada dasarnya bergantung padapotensi untuk perilaku antisosial dan pada faktor-faktor situasional (risiko, keuntungan, dan probabilitas).

Selain itu, panah dua arah menunjukkan adanya kemungkinan bahwa dengan adanya kesempatan untuk
melakukan tindakan kriminal dapat meningkatkan AP jangka pendek, dan sebaliknya.

Teori ini juga memiliki elemen kognitif (persepsi, memori, dan pengambilan keputusan), dan juga
pendekatan social learning dan causal risk factor.

Hasil analisis mengenai apa yang menyebabkan orang bertindak agresif sampai menghilangkan nyawa orang lain, dan sampai hati atau tega melakukan mutilasi, pada kasus mutilasi di Indonesia dapat dikatakan masih lemah.

Seperti yang telah dijelaskan pada pengantar penulisan, bahwa sumber data utama yang dijadikan rujukan untuk menganalisis predisposisi pelaku mutilasi hingga menyimpulkan melakukan pembunuh,
lalu mengahiri dengan memutilasi korban berasal dari media massa yang berbeda kepentingannya
(kepentingan jurnalistik) dengan kepentingan akademik.

Data tentang mutilasi yang diberitakan oleh media massa amatlah terbatas, kering, dan bombastis.

Di luar Indonesia sendiri, sebenarnya telah banyak yang menjelaskan mengenai karakteristik dan kebolehjadian pelaku kejahatan, namun sifatnya sangat konstekstual dan tidak menggambarkan secara khusus karakteristik pelaku kejahatan di Indonesia.

Ini berarti bahwa urgensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut melalui pengambilan data yang mendalam dan menyeluruh, serta spesifik Indonesia sangat mendesak.

Diharapkan dari data yang terkumpul kelak akan diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai karakteristik pelaku mutilasi, sehingga dapat mempersempit tersangka pelaku pembunuhan.

Pengakuan dari petugas penegak hukum yang melakukan penyelidikan pembunuhan mutilas , korban biasanya sulit untuk diidentifikasi.

Dampak dari kesulitan mengidentifikasi korban merupakan kendala untuk me l akukan identifika s i pe l aku pembunuhan.

Berbagai teori yang mencoba menjelaskan tindak kekerasan, seperti peran faktor genetis, kepribadian, sosioekonomi, tekanan, insting, dan rasionalisasi, menurut Farrington, belum dapat menjelaskan secara
keseluruhan.

Hal ini karena teori-teori tersebut berdiri sendiri-sendiri dan tidak mempertimbangkan teori lainnya. Bagi teoritisi yang menilai kasus pembunhan berdasarkan gejala rasionalitas, teoritisi tersebut terlalu cepat
menyimpulkan karena pelaku pembunuhan, seperti manusia yang lainnya juga memiliki masa
lalu.

Sementara bagi teoritisi yang hanya menilai berdasarkan peyelidikan mengenai masa lalu pelaku pembunuhan, teoritis itu juga terlalu cepat menyimpulkan karena pelaku pembunuhan memiliki logika berpikir.

Ada tiga faktor penting yang perlu diperhatikan berkenaan dengan predisposisi pelaku kejahatan, yaitu doronganatau rangsangan melakukan kejahatan, antisosial model, dan kelekatan pada tindak kejahatan.

Dorongan melakukan tindakan kejahatan ini dapat dipicu karena pekerjaan dan penghasilan yang tidak
stabil.

Model antisosial dapa tterjadi dari orangtua yang kriminal, teman-teman yang delinquent, dan lingkungan yang buruk, sehingga memberikan model tentang antisosial.

Selanjutnya, sosialisi antisosial dapat terjadi dari kehidupan masa lalu yang buruk, keluarga yang berantakan, dan adanya kecemasan yang rendah.

Jika seseorang telah memiliki model antisosial, doronganatau pemicu, dan kelekatan pada dunia kejahatan, menurut Farrington (2007) orang tersebut hanya perlu menunggu motivasi dan situasi yang memicunya.

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved