Serikat Buruh hingga Akademisi Tolak Revisi Permenaker Soal Aturan JHT Dicarikan Saat Usia 56 Tahun

Adanya program JKP juga mendapat kritik dari Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI), Aloysius Uwiyono.

Penulis: Alex Suban | Editor: murtopo
Istimewa
Permenaker No 2 Tahun 2022 merubah cara klaim JHT peserta dari yang sebelumnya satu bulan setelah PHK atau resign bisa diambil sekarang menjadi umur 56 tahun dan berlaku pada bulan Mei 2022 ini 

Laporan TribunnewsDepok.com, Muhamad Fajar Riyandanu

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, DEPOK – Pada 2 Februari lalu, Kementerian Ketenagakerjaan menetapkan Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.

Aturan baru tersebut menjelaskan bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan baru bisa cari saat peserta iuran memasuki usia 56 tahun. 

Adanya aturan tersebut merevisi Permenaker 19 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua yang menuliskan JHT BPJS Ketenagakerjaan bisa langsung cair 1 bulan pasca peserta mengundurkan diri dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Rivisi aturan tersebut mendapat tanggapan dari beragam elemen. Satu diantaranya yang ikut bersuara yakni Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

Baca juga: Dipanggil Jokowi, Menteri Ketenagakerjaan Akui Bakal Sederhanakan Pencairan JHT

Menurut mereka, JHT merupakan harapan penyambung hidup bagi kaum buruh yang terkena PHK dan sedang tidak bekerja.

Membatasi hak waktu pengambilan JHT yang merupakan iuran dari potongan upah buruh merupakan hal yang tak memihak kepada kesejahteraan buruh.

Dana JHT sejatinya diambil dari upah pekerja. Sehingga, JHT pada dasarnya adalah tabungan para pekerja untuk masa depannya.
 
“JHT ini adalah memang menjadi harapan kaum buruh ketika terkena PHK, dan buruh yang sedang tidak bekerja untuk digunakan sebagai kebutuhan hidup, biaya pendidikan bahkan bisa menjadi modal usaha kecil-kecilan. Itu uang buruh sendiri loh, yang dikelola oleh BPJS,” kata Ketua Umum KASBI, Nining Elitos saat dihubungi via sambungan telepon pada Rabu (16/2/2022), malam. 

Baca juga: Presiden Jokowi Minta Dana JHT Bisa Diambil oleh Pekerja yang Mengalami PHK

Nining menambahkan, sering kali realitas di lapangan tak seindah yang dibayangkan. Mengacu pada permenaker sebelumnya, masih banyak kaum buruh yang belum mendapat JHT walau sudah satu bulan mengundurkan diri dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). 

“(Aturan) sebelumnya saja waktu satu bulan, sering kami mendampingi kaum buruh masih sering kesulitan apalagi yang harus menunggu 56 tahun,” sambung Nining. 

Disamping merevisi aturan pengambilan waktu JHT, Kemnaker juga mengadakan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Baca juga: Hotman Paris Hutapea Tantang Debat Terbuka Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah Soal Aturan Baru JHT

Progam ini dinilai sebagai upaya tambal sulam pasca lahirnya aturan penundaan pencairan dana JHT hingga pekerja berusia 56 tahun. Nantinya, JKP akan diberikan setiap bulan selama enam bulan kepada korban PHK. 

Menurut laman resmi BPJS Ketenagakerjaan, selama tiga bulan pertama, pekerja korban PHK akan mendapat uang tunai besarannya 45 persen dari gaji. Tiga bulan terakhir sebesar 25 persen dari gaji.

Selain memperoleh upah selama enam bulan berturut-turut, pekerja juga bisa memperoleh informasi mengenai pasar kerja dan pelatihan ketenagakerjaan. Adapun pembiayaan JKP sepenuhnya dibayar pemerintah. 

Baca juga: Rudy Susmanto Ketua DPRD Kabupaten Bogor Mohon Menaker Cabut Permenaker Tentang Pencairan Dana JHT

Adanya program JKP juga mendapat kritik dari Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI), Aloysius Uwiyono.

Menurutnya, program JKP yang hanya diberikan selama enam bulan belum tentu menjamin para pekerja untuk kembali memperoleh pekerjaan baru pasca menjadi korban PHK 

“JKP itu menurut saya maunya memang supaya memang bekerja kembali setelah mendapat cukup selama enam bulan ia mendapatkan pekerjaan baru. Itu idealnya. Tapi kenyataannya belum tentu, pekerja korban PKH itu mendapatkan pekerjaan lahi. Apalagi dalam situasi sulit seperti ini (Pandemi Covid-19) kan sangat merugikan pekerja,” kata Aloysius saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Rabu (16/2/2022), malam. 

Penulis buku Asas-Asas Hukum Perburuhan ini menyebut, program JKP yang berisi paket upah minimun, pelatihan kerja, informasi lowongan kerja hanya menjadi obat penenang sementara bagi buruh-buruh yang terkena PHK.

“Jadi hanya sebagai penenang pekerja saja untuk mendapatkan pelatihan dan upah yang minimum itu,” sambungnya. 

Baca juga: Dana JHT Baru Bisa Cair Usia 56 Tahun, KPBI: Negara Jangan Intervensi Hak Buruh

Pro pengusaha

Dengan ditetapkannya Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, Aloysius menilai bahwa pemerintah saat ini sangat pro kepada pengusaha dan di sisi lain, kerap membuat kebijakan yang merugikan buruh. 

“Ya, memang (pro pengusaha) karena kebijakan-kebijakan yang dibuat merugikan buruh. Misalnya, pesangon, dalam Undang-undang Cipta Kerja No 11 tahun 2020 kan diatur ketentuannya lebih rendah dari aturan sebelumnya di UU 13 tahun 2003 Ketenagakerjaan,” sebutnya. 

Baca juga: Buruh: Dana JHT Milik Pekerja Harapan Satu-satunya Bila Mereka Kehilangan Pekerjaan Atau Kena PHK

Hal serupa juga dikatakan oleh Nining. Ia menyebut, jauh sebelum revisi Permenaker No. 2 tahun 2022, Pemerintah Indonesia saat ini lebih suka memberikan karpet merah kepada investasi tapi mengabaikan aspek kemanusiaan, perlindungan, keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. 

“Iya kalau kami memang menyatakan bahwa sebelum revisi Permenaker ini pemerintah sudah pro pengusaha, beberapa kali mulai dari RKUHP, UU Minerba, UU Ketenagakerjaan yang kemudian dijadikan satu model yaitu UU Omnibus Law Cipta Kerja,” pungkas Nining. (m29).
 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved