Berita Depok
Gara-Gara Kebijakan Harga Murah, Pedagang Minyak Goreng di Pasar Agung Kota Depok Rugi Hampir 90 %
Pedagang Minyak Goreng di Pasar Agung Kota Depok Rugi Hampir 90 Persen Gara-Gara Kebijakan Harga Murah
Penulis: Vini Rizki Amelia | Editor: Dwi Rizki
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, SUKMAJAYA - Sejak diberlakukan kebijakan harga minyak goreng Rp 14.000 per liter di toko moderen pada 19 Januari 2022, para pedagang di pasar tradisional mengeluhkan anjloknya penjualan minyak goreng.
Hal ini dikarenakan para pedagang masih terus menjual minyak goreng dengan harga normal atau tinggi sampai dengan saat ini.
Pepen (50) seorang pedagang sembako di Pasar Agung, Sukmajaya, Kota Depok, mengatakan dirinya minyak goreng yang dijualnya tidak laku sama sekali.
"Enggak laku sama sekali karena mereka (pembeli) tahu harganya (minyak goreng) murah di supermarket, sedangkan kami masih menjual harga normal, bagaimana mau laku?" ujar Pepen kepada TribunnewsDepok.com di Pasar Agung, Depok pada Sabtu (22/1/2022).
Saat ini, semua pedagang sembako di Pasar Agung masih menjual minyak goreng Rp 18.500 - Rp 22.000 per liter.
Tingginya harga ini dikatakan Pepen membuat penjualan minyak goreng yang sudah terlanjut dibelinya dengan modal tinggi, tak laku di pasaran.
"Boleh dikatakan 50 persen penjualan enggak ada sama sekali karena masyarakat milih beli ke supermarket yang harganya Rp 28.000 dua liter. Kami bagaimana mau bisa jual murah, modal kami aja sudah mahal," akunya.
Baca juga: Harga Minyak Goreng di Pasar Agung Masih Rp 18.500, Pedagang Berharap Pemerintah Kota Depok Tak Diam
Baca juga: Anies Tak Keberatan Formula E Telan Anggaran Ratusan Miliar Asalkan Menggerakkan Perekonomian
Biasanya, dalam satu hari Pepen mengaku dirinya bisa menjual minyak goreng sebanyak dua kardus, namun sejak pemberlakuan harga murah, tak ada lagi penjualan minyak goreng.
Hal ini juga menimba Untung (55), pria yang telah berdagang sembako sejak 30 tahun lalu di Pasar Agung itu mengaku, kurangnya minat pembeli minyak goreng, lantaran harga yang dijualnya mahal.
"Penjualan lesu, peminatnya kurang karena saya tidak dapat subsidi dari pemerintah. Nah, yang dituntut masyarakat itu minyak subsidi, sementara kami pedagang tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah, dibiarkan begitu saja," tegasnya.
"Penjaulan turun jauh biasanya sehari 10-15 karton sekarang 2 karton aja blm tentu habis," kata Untung.
Baik Pepen maupun Untung mengaku, keputusannya menjual minyak goreng dengan harga mahal lantaran saat membeli pun mereka dihadapkan dengan harga yang mahal pula. Di mana untuk satu liternya, pedagang membeli seharga Rp 18.500.
"Kami enggak bisa jual murah, kalau pemerintah mau satu harga ya kami pedagang siap tapi stok kami dibayarin pemerintah, jangan dibiarkan seperti ini saja, kami yang alami kerugian besar (kalau jual murah)" cetus Untung.
Jika harus menjual dengan harga murah, Pepen mengaku dirinya akan menelan kerugian Rp 10.000 per liternya. Begitu juga dengan Untung.
"Kami masih beli dengan harga mahal, rugi lah kalau pemerintah sekarang jual Rp 14.000 per liter sedangkan saya modalnya saja sudah Rp 18.500 per liter," paparnya.
Rencana pemerintah yang akan menggelontorkan subsidi minyak goreng bagi pedagang tradisional pada Februari mendatang, dikatakan Pepen merupakan keputusan yang telat.
"Katanya kan bulan depan kami dapat subsidi, menurut saya sih itu sudah terlambat, seharusnya subsidinya itu untuk pasar tradisional dulu baru ke supermarket," imbuhnya.
