"Nominalnya beda-beda, paling kecil Rp 50.000, enggak tahu ngitungnya gimana, tiba-tiba masuk notif aja," jelasnya.
Kendati demikian, Egi menyebut bahwa yang paling berdampak pada penurunan pendapatan adalag soal potongan.
Menurutnya, potongan argo per-perjalanan hanyalah 20 persen, tetapi kenyataannya lebih dari itu.
"Potongannya bisa sampai goceng (Rp 5.000), padahal kan harusnya 20 persen aja. (Misalkan) Rp 25.000 dapatnya belasan ribu deh," tutur dia.
Pria yang sudah menjadi pengemudi ojek online sejak 2016 itu berharap, adanya unjuk rasa ini bisa membuat sistem kembali seperti di awal, saat potongan hanya 20 persen.
Baca juga: Driver Ojol di Depok Pilih Tak Ikut Demo, Takut Kena Sanksi Putus Mitra dari Aplikator
Pasalnya dahulu, Egi bisa mendapatkan Rp 700.000 sehari dari hasil menarik mulai pukul 06.00 WIB sampai 20.00 WIB.
Saat ini, pendapatan Egi hanya berkisar Rp 200.000 per hari.
"Pengen normal seperti dulu, ada namanya argo Rp 5.000 ya aceng, terus juga slot ilangin lah, kita normal aja, kita enggak minta naik tambahan biaya enggak, yang penting potongan kami enggak besar," pinta Egi.
Selain Egi, pengemudi ojol lain bernama Eki (55) juga merasakan hal yang sama. Eki memilih mematikan aplikasi untuk menghargai dan berpartisipasi perjuangan ojol demi mendapatkan kesejahteraan.
"Matiin dulu lah. Cuma kalau nanti ada yang kesusahan (nyari driver) ya bantu kasihan. Kayak kan ada penumpang turun stasiun ke rumah orangtuanya atau apa," kata Eki saat ditemui di lokasi.
Kendati demikian, Eki tak menampik jika area trotoar Palmerah sepi oleh ojol lantaran kebanyakan memilih pulang ke rumah dan tak bekerja. Sisanya, melakukan unjuk rasa.
"Ada yang pulang ke rumah enggak narik, ada yang juga ikut demo," katanya.
Eki sendiri memang berprinsip untuk "jalanin aja" apapun yang didapatkan dari pengembang aplikasi yang sudah menghidupi dirinya sejak 2015 lalu.
Namun, Eki berharap aksi unjuk rasa ini bisa menghasilkan kebijakan yang menguntungkan kedua belah pihak. (m40)