Kriminalitas

Ahli Psikologi Forensik Soal Sidang Tukul: Persidangan Harus Menaruh Perhatian Pada Status Residivis

Penulis: Cahya Nugraha
Editor: murtopo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dalang utama pembacokan Arya Saputra, ASR (17) alias Tukul yang juga merupakan residivis divonis 9 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bogor, putusan ini lebih berat bila dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya 7,6 bulan.

Laporan wartawan TribunnewsDepok.com, Cahya Nugraha

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, BOGOR - Dalang utama pembacokan Arya Saputra, ASR (17) alias Tukul yang juga merupakan residivis divonis 9 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bogor, putusan ini lebih berat bila dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya 7,6 bulan.

Merespon hal tersebut, keluarga Arya Saputra yang turut hadir dalam persidangan itu pun meluapkan kekecewaan dan kemarahan mereka ketika Tukul keluar dari ruang persidangan.

Sesak di dada membuat nafas keluarga Arya Saputra terasa berat, usai mendengar putusan tersebut tangis pun tak bisa dihindari.

Dengan tatapan yang kosong, ayah tiri Arya, Rojai masih tak menyangka bahwa hukuman 9 tahun menutup perjalanan kasus putra kesayangannya.

Baca juga: Ahli Psikologi Forensik, Pertanyakan Putusan 9 Tahun Penjara Bagi Tukul yang Seorang Residivis

Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel angkat suara, menurutnya persidangan harus menaruh perhatian penuh pada status terdakwa sebagai residivis.

"Persidangan juga punya kewajiban untuk memastikan bahwa aksi residivisme tidak berulang untuk kedua kalinya," Kata Reza dihubungi Wartakotalive.com, Senin (12/6/2023)

"Kalau terdakwa dihukum ringan, maka kita punya alasan untuk mengatakan bahwa persidangan terkesan abai terhadap rasa aman masyarakat. Masyarakat selaku korban potensial perbuatan pelaku," sambungnya.

Baca juga: Keluarga Arya Saputra Kecewa, Tangis Pecah Lantaran Tukul Dihukum 9 Tahun Penjara

Terkait dengan temuan tentang kondisi di rumah Tukul yang disampaikan oleh Penasihat Hukum Tukul, bahwa kliennya merupakan anak broken home, menurut Reza hal itu perlu dipadukan dengan tiga elemen Risk Assesment (RA) lainya, yakni kondisi di sekolah, situasi pertemanan dan penyalahgunaan NAPZA.

"Perlu dipadukan dengan data-data dari tiga elemen RA lainnya. Kalau sebatas pada kondisi terdakwa berasal dari keluarga yang berantakan, maka justru hitung-hitungannya adalah sudah ada satu faktor risiko statis yang mengarah ke residivisme. Dengan demikian, yang masuk akal adalah memperberat hukuman bagi terdakwa" ungkap Reza.

Baca juga: Rojai Ayah Angkat Arya Saputra Tak Puas dengan Putusan Vonis Hakim kepada Tukul

Sementara, Penasihat Hukum ABH, Endeh Herdiani mengatakan bahwa kliennya itu masih di bawah umur dan mempunyai masa depan yang luas, masih bisa beradaptasi lagi dengan masyarakat.

"Kemudian keluarga dia juga merupakan anak broken home. Jadi, disitu lah kenapa anak tersebut sampai tega melakukan tindakan brutal ini," ungkapnya.

Endeh mengatakan bahwa terkait putusan vonis terhadap Tukul, dirinya mengaku shock lantaran vonis ini naik dari tuntutan awal selama 7,6 bulan.

"Kami juga agak sedikit shock karena ini naik. Dari tuntutan awalnya 7,5 tahun dari jaksa, kemudian sekarang naik jadi 9 tahun," katanya ditemui usai persidangan.

Baca juga: Tukul Divonis 9 Tahun Penjara, Ditahan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kota Bandung

Kendati demikian, dirinya tetap menyerahkan segala sesuatunya kepada majelis hakim sebab menurutnya, majelis hakim akan memberikan penilaian yang terbaik.

"Walaupun begitu kami menyerahkan segala sesuatunya kepada majelis hakim karena mungkin penilaian majelis hakim yang terbaik," katanya.

Sebelumnya, Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel angkat suara, dirinya mempertanyakan hukuman 9 tahun bagi Tukul yang merupakan residivis meski masih berstatus anak.

Baca juga: Keluarga Arya Saputra Kompak Mengenakan Pakaian Hitam di Sidang Putusan ASR Alias Tukul

"Kalau bagi ABH berstatus residivis, saya bertanya-tanya 9 tahun itu akan dipakai untuk apa? Normatif, jawabannya adalah untuk pembinaan," ungkapnya.

Dirinya menanyakan poin penting perihal hal tersebut (pembinaan), apa konkretnnya pembinaan bagi residivis?

"Jelas tidak memadai jika fokus hanya pada pemenjaraan. Konseptual, dalam 9 tahun itu harus dilakukan intervensi terhadap kehidupan anak di sekolah, di rumah, di pergaulan keseharian, dan terhadap kondisi-kondisi individual ABH itu sendiri," ungkapnya.

Reza menambahkan, agar itu semua bisa terkelola, boleh jadi butuh perlibatan lintas kementerian/lembaga.

"Hitung saja, berapa perak alokasi anggaran per ABH bagi terselenggaranya pendekatan biopsychosocial sedemikian rupa," kata Reza

"Kalau pembinaan gagal, maka risiko residivisme akan semakin tinggi. ABH semakin berbahaya, masyarakat semakin terancam jiwanya," sambungnya tegas.

Sementara, Humas PN Bogor, Daniel Mario menyampaikan bahwa PN Bogor telah menjatuhkan perkara atas putusan anak yang berlawanan dengan hukum atas nama anak ASR alias Tukul.

"Putusannya telah dijatuhkan yang menyatakan dengan isinya terbukti secara sah dan melakukan tindak pidana, melakukan kekerasan kepada anak yang mengakibatkan mati sebagaimana dalam dakwaan alternatif ke satu," kata Mario usai persidangan.

"Kedua, menjatuhkan pidana kepada anak, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 9 tahun di Lembaga Pemindahan Khusus Anak (LPKA) Bandung dan pelatihan kerja sama satu tahun di UPT Dinas Pusat Pelayanan Sosial Griya Bina Karsa, Cileungsi," sambungnya.