TRIBUNNEWSDEPOK.COM, DEPOK - Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (UI), Agung Waluyo berbagi kisah mengenai kondisi profesi perawat di Indonesia.
Selain menjadi dosen, pria kelahiran Jakarta 52 tahun silam ini juga menjabat sebagai Ketua Bidang Kerja sama Dalam dan Luar Negeri Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Sebagai Ketua Bidang, Agung dan rekan kerjanya memiliki tugas untuk mencari mitra kerja sama dalam upaya menjangkau akses kesehatan di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia.
Selain itu, ia melalui kerja sama dengan sejumlah mitra, Agung berharap sejumlah perawat di Indonesia bisa memperoleh pendidikan sekaligus memiliki pengalaman bekerja di luar negeri.
Pengalaman itulah yang nantinya akan dibawa kembali ke tanah air.
"Sekarang lagi sosialisasi perawat yang kerja di luar negeri," kata kata Agung saat ditemui di Laboratorium Parangtopo UI pada Senin (3/1/2022) lalu.
Melihat kondisi di Indonesia saat ini, ujar Agung, mayoritas tenaga kesehatan yang diterjunkan ke daerah terpencil adalah bidan yang fokus pada penurunan tingkat kematian bayi dan ibu hamil.
Menurutnya, Pemerintah mesti menyalurkan tenaga kesehatan maupun dokter yang lebih dari urusan kesehatan ibu dan anak.
"Yang kita butuhkan itu tenaga kesehatan yang lebih dari mengurusi kesehatan ibu dan anak," sambungnya.
Baca juga: Trek Drag Race di Ancol Bergelombang, Membahayakan Para Pembalap Jalanan Binaan Polda Metro Jaya
Baca juga: Berawal dari Acara Keluarga di Puncak, Puluhan Warga Krukut Terpapar Omicron, Ariza: Tetap di Rumah
Pada kesempatan tersebut, Agung juga menyoroti perkembangan profesi perawat pada masa Pandemi Covid-19.
"Saat itu negara ini sadar tanpa perawat, negara ini gak bisa apa-apa. Banyak dari tenaga kesehatan gugur akibat Covid-19," ujar Agung.
Pandemi menjadi awal perubahan nasib perawat di Indonesia.
Pada masa Pandemi, Pemerintah membuka lowongan relawan besar-besaran untuk profesi perawat.
Sebelum pandemi banyak perawat belum mendapat kerja, apalagi yang baru lulus kuliah.
"Banyak yang mendaftar dan bekerja di Wisma Atlet Kemayoran, sejumlah rumah sakit, dan banyak dari mereka yang ditetapkan sebagai calon pegawai tetap dan pegawai tetap," ucap Agung.
Menurut pengamatannya, masih banyak perawat yang diupah di bawah Upah Minimun Regional (UMR).
Bahkan ada yang digaji Rp 300.000 per bulan.
Hal ini sebabkan oleh stigma yang menganggap perawat sebagai pembantu dokter.
Sekali lagi, Pandemi Covid-19 di sisi lain mendatangkan peruntungan kepada para perawat.
Profesi ini dianggap sebagai pekerjaan vital.
Hal ini berimbas pada sejumlah rumah sakit yang memberikan upah di atas UMR kepada para perawatnya.
"Kalau di rumah sakit swasta yang baik bisa jauh di atas UMR," jelasnya.
Namun, Agung tak menutup mata.
Ia tak menampik masih ada daerah terpencil yang masih kekurangan layanan kesehatan.
Hal ini dimungkinkan terjadi akibat minimnya anggaran Pemerintah Daerah (Pemda) untuk upah tenaga kesehatan.
Akibat upah minim, tenaga kesehatan dari putera daerah memilih mengadu nasib ke kota besar.
"Memang tidak heran di beberapa survei masih ada daerah yang kekurangan tenaga perawat. Karena mereka keluar kota untuk mencari penghidupan yang layak" terang Agung.
Agung pun menyoroti sistem BPJS yang diperuntukkan bagi perawat.
Menurutnya, BPJS untuk para perawat dihitung secara tim, bukan sebagai individu si perawat itu sendiri.
"Jadi misalnya dibagi tim dengan jumlah 30 orang, itu jadi sangat kecil," ungkapnya.
Perihal layanan perawatan di Indonesia, Pemerinyah tengah berupaya meratakan jumlah kuantitas maupun kualitas pelayanan masyarakat.
Rencananya, PPNI akan menjalin kerja sama dengan banyak Kementerian Dalam Negeri untuk mengajukan program 1 village 1 nurse.
Program ini diharap dapat meningkatkan kesehatan masyarakat di segala aspek. Seperti makanan, psikologis, dan pola hidup sehat.
"Perawatnya ini cukup pakai gawai saja, pantau melalui WA mana yang perlu obat, olah raganya, makan bergizi. Jadi upayanya preventif bukan kuratif. Kalau kuratif itu dokter," pungkas Agung.