Khususnya, karya jurnalistik serta berpotensi memanipulasi sejarah, atau penulisan ulang sejarah secara tidak benar.
Meskipun pensensoran atas suatu informasi sesungguhnya tidak lahir dengan adanya "hak untuk dilupakan" atau Right to be Forgotten tersebut akan tetapi, persoalan terkait penyensoran jauh sebelumnya pernah terjadi hingga menjadi pemicu lahirnya “freedom of expression”.
Ketakutan terhadap "Hak untuk dilupakan", pernah dikomentari oleh Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-undang (RUU) Informasi dan Transaksi Eletronik, Henry Subiakto, saat berkunjung ke Kantor Redaksi Kompas.com di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, pada Rabu (30/11/2016) lalu.
Baca juga: Dalam Waktu Dekat Kejari Depok Tetapkan Tersangka Dugaan Korupsi Dinas Damkar, 50 Saksi Dipanggil
“Hak untuk dilupakan" di dalam Pasal 26, diutamakan untuk situs pemberitaan Non Pers. Dikarenakan, biasanya membuat berita yang tidak bertanggungjawab dan secara identitas juga tidak jelas.
Henry Subiakto dalam pemberitaan itu menegaskan, situs pemberitaan Non Pers merasa bebas memberitakan sesuatu tanpa proses verifikasi yang mendalam sehingga berakibat, berita yang secara faktual di masa ini sudah tak relevan, bisa dimunculkan kembali oleh mereka untuk mendiskreditkan pihak tertentu.
"Itu seperti kasus di Spanyol. Ada Pengusaha yang dulu punya utang di Bank dan sudah dilunasi tapi, masih diberitakan kalau masih punya utang. Akhirnya di tahun-tahun berikutnya Pengusaha tersebut kesulitan saat meminjam uang di Bank. Makanya DPR mengusulkan pasal itu muncul," tutur Henry Subiakto.
Lalu bagaimana dengan situs yang berlindung dengan dalil kebebasan pers tetapi, tidak mematuhi kode etik jurnalistik dalam produksi beritanya?
Ketegangan "Hak untuk dilupakan" diantara hak privacy dan kebebasan berekspresi nampaknya perlu dilihat lebih cermat. Terutama berkaitan dengan kedudukan "Hak untuk dilupakan".
Baca juga: Kemendikbudristek Terus Revitalisasi SMK untuk Meningkatkan Kerjasama dengan Dunia Kerja
Benturan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Berdasarkan beberapa referensi, juga terjadi di Amerika terhadap data pribadi catatan kriminal, yang dapat dengan mudah diakses pada laman internet.
Selain itu, banyaknya website yang secara khusus mempublikasikan informasi kepada masyarakat mengenai catatan kejahatan yang telah, dan tengah berlangsung.
Ini merupakan wujud hak atas informasi dan menjadi perlindungan dini terhadap potensi kejahatan yang mungkin akan dihadapinya.
Dari sisi jejak digital data pribadi subjek yang dipublikasikan (terdakwa, narapidana, ataupun yang telah selesai menjalani hukuman), pengungkapan tersebut dapat menyulitkannya untuk beralih dari kesalahan yang telah lama terjadi.
Hal demikian turut berimbas pada rendahnya kesempatan kerja, persoalan keuangan, kesulitan untuk menetap (tempat tinggal), dan lainnya.
Ada sejumlah potensi persoalan untuk menerapkan "Hak untuk dilupakan" apabila pelaksanaannya tidak dipandu secara terperinci dan jelas oleh peraturan.
Salah satunya adalah gesekan dengan hak warga negara untuk mendapatkan informasi.
Hal itu terkait mengenai bagaimana menegakkan "Hak mendapatkan informasi" jika ada hak lain untuk menghapus informasi? Oleh karena itu dalam mengatasi multi tafsir terkait penghapusan data yang tidak relevan, informasi dan dokumen elektronik yang dimaksud perlu diperjelas lebih terperinci.
Baca juga: Indonesia Butuh 9 Juta Digital Talent, Samsung Bekali Lulusan SMK dengan Web Programming
Tanpa adanya penjelasan dan pendefinisian yang jernih, karya jurnalistik dan karya ilmiah juga dapat dituntut untuk dihapus.
Memang kita sudah sepatutnya menghormati privasi orang lain. Namun, sangatlah absurd dengan menugaskan orang lain untuk melupakan peristiwa yang pernah terjadi.
Sama sama kita ketahui menghalang-halangi orang untuk mengakses informasi, itu aja sudah dapat dikatakan melanggar Hak Asasi.
Apalagi perbuatan menghapus informasi dan dokumen yang secara legal tidak melanggar hukum.
Meskipun begitu, di tengah kondisi “bebas” seperti sekarang ini dengan maraknya akun atau situs situs yang masih belum jelas dasar penggunaan data pribadi orang lain dalam pengumpulan dan penggunaannya.
Maka hak untuk dilupakan" pastinya dibutuhkan sebagai pengaturan kewajiban menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang menyangkut data pribadi yang sudah tidak relevan.
Di akhir tulisan "Hak untuk dilupakan" ini meninggalkan pertanyaan, bagaimana objektivitas algoritma Google dalam merilis hasil pencariannya?
Penulis: Alfa Dera, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya