Penataan Kawasan Puncak
Penataan Kawasan Puncak, IAW Desak Audit Investigatif Skandal KSO PTPN I Regional 2
Praktik alih fungsi lahan ilegal, manipulasi izin, hingga kerusakan lingkungan menjadi catatan hitam dalam pengelolaan aset BUMN tersebut.
Penulis: Hironimus Rama | Editor: murtopo
"Jangan sampai BUMN cuma jadi alat bisnis kelompok tertentu, sementara negara dan rakyat yang menanggung kerugian," tambahnya.
Baca juga: Warga Puncak Bogor Dukung Gubernur Dedi Mulyadi Bongkar Hisbisc Fantasy, Ingin Kawasan Puncak Hijau
Iskandar mengungkapkan beberapa temuan kunci KLH terkait penerbitan izin oleh PTPN di kawasan Puncak, Bogor.
1. Alih fungsi lahan tanpa izin. Ini terungkap dari kasus BUMD Jabar dan sekarang KLHK menemukan bahwa sejumlah tenant dan KSU mengalihkan fungsi lahan perkebunan menjadi area komersial tanpa izin resmi dari pemerintah.
Praktik ini melanggar UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan berpotensi menyebabkan degradasi lingkungan.
2. Pelanggaran terhadap regulasi lingkungan dimana kegiatan tenant dan KSU tidak memenuhi standar pengelolaan lingkungan, mengakibatkan pencemaran dan kerusakan ekosistem di sekitar area operasional.
Ini bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Ketidaksesuaian KSU dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini terbukti dari beberapa proyek tenant dan KSU diketahui tidak sesuai dengan RTRW yang berlaku.
Ini menunjukkan kurangnya koordinasi dan perencanaan yang matang dalam pelaksanaan proyek tersebut.
"Analisis penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara terlihat dari temuan KLHK tersebut. Ini bukan sekadar soal izin dan lingkungan,"imbuhnya.
IAW menilai ada pelanggaran serius dari segi hukum dan potensi kerugian keuangan negara.
"Tindakan alih fungsi lahan tanpa izin dan pelanggaran regulasi lingkungan adalah pelanggaran hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta UU No. 32 Tahun 2009," jelas Iskandar.
Penyimpangan dalam pengelolaan lahan ini berpotensi menyebabkan kerugian finansial bagi negara, baik dari hilangnya pendapatan sektor perkebunan maupun biaya pemulihan lingkungan.
Hal ini melanggar UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).
Iskandar menegaskan bahwa pola penyimpangan ini sangat berpotensi melibatkan unsur korupsi dan abuse of power oleh oknum-oknum yang memanfaatkan kerja sama BUMN untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
"Kalau lahan negara dialihfungsikan tanpa izin dan tenant-tenant ini bebas beroperasi, siapa yang bertanggung jawab? Ini bukan sekadar pelanggaran administratif," ucapnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.