Sisi Lain Jakarta, Mengintip Kehidupan Warga Kolong Tol Jelambar yang Jauh dari Kata Layak

Ukuran dari rumah-rumah tersebut bervariasi, ada yang berukuran 1x1 meter, 2x2 meter, bahkan ada yang nampak sangat luas

Warta Kota/Nuri Yatul Hikmah
kehidupan warga yang bermukim di bawah kolong tol Cawang-Pluit, Jelambar, Jakarta Barat. 

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, JAKARTA BARAT — Gelap dan sempit adalah dua kata yang menggambarkan kehidupan warga yang bermukim di bawah kolong tol Cawang-Pluit, Jelambar, Jakarta Barat.

Siapa sangka, di tengah megahnya gedung-gedung tinggi yang mengelilingi Jakarta, terselip potret sejumlah orang yang tinggal di bawah derap mobil-mobil yang melintas. 
Saat Wartakotalive.com mengunjungi tempat yang disebut 'kolong' tersebut, Rabu (21/6/2023), pemandangan pertama yang dapat disaksikan adalah celah tol berukuran tinggi setengah meter.
Di sekitarnya nampak tumpukkan kardus-kardus dan sampah plastik yang berserakan.
Untuk menuju tempat tersebut, Warta Kota harus masuk terlebih dahulu lewat tembok beton berkelir oranye di seberang pinggiran Kali Ciliwung, Jelambar Baru, Jakarta Barat.
Pintu beton tersebut hanya bisa dilewati oleh satu orang. Apabila dipandang dari kejauhan, tak nampak jika sebenarnya itu adalah jalan masuk menuju celah tol berukuran tinggi setengah meter tersebut.
Beberapa kerikil dan tanah lembab menyambut pijakan kaki setiap orang yang hendak berjalan menuju 'kampung kolong'.
Warga kolong tol Cawang-Pluit, Jelambar, Jakarta Barat khawatir di usir pemerintah
Warga kolong tol Cawang-Pluit, Jelambar, Jakarta Barat khawatir di usir pemerintah (Warta Kota/Nuri Yatul Hikmah)
Jika hendak masuk ke dalam, siapapun perlu berjalan rukuk jika tidak ingin kepalanya terbentur badan jalan tol. 
Di sepanjang jalan masuk, sejumlah binatang berbadan kurus dan kotor nampak mengais sisa-sisa makanan. Seperti anjing, kucing, dan ayam. 
Perjalanan sambil merukuk itu kurang lebih dilakukan sejauh dua meter sambil menerjang gelapnya kolong tol. Selebihnya, bisa berdiri normal. 
Saat masuk ke dalam, secercah cahaya sudah nampak terlihat. 
Cahaya tersebut berasal dari celah dua jalur tol yang saling berhimpitan. Jaraknya kurang lebih setengah meter. 
Di tempat tersebutlah, tempat tinggal yang disebut 'kampung kolong tol' berada. 
Mereka membuat rumah petak di sisi kanan dan kiri kolong. Ukuran dari rumah-rumah tersebut bervariasi, ada yang berukuran 1x1 meter, 2x2 meter, bahkan ada yang nampak sangat luas.
Hanya saja, rumah-rumah tersebut nampak jauh dari kata layak. 
Pasalnya, bangunan yang mereka sebut rumah itu terbuat dari bilik-bilik kayu yang ditempel berantakan.
Sementara lantainya, masih berupa semen atau bahkan tanah berkerikil. 
Di sepanjang jalan tempat mereka bermukim, nampak perabot dapur berserakan di luar petak lantaran tak ada ruang yang cukup untuk menyimpannya. 
Selain itu, beberapa potong pakaian nampak dijemur di depan petak dekat satu-satunya sumber cahaya. 
Di tempat itu, bukan hanya orang dewasa yang tinggal. Sejumlah anak-anak yang masih bayi dan balita nampak ramai berada di tempat tersebut.
Pakaiannya terlihat cukup lusuh dan kotor, sebab tempat mereka berpijak didominasi oleh debu dan tanah. 
Namun yang mengejutkan, di tempat tersebut ada sebuah sekolah untuk anak-anak yang dibuat warga. 
Sekolah tersebut berada di tengah-tengah kampung kolong dan bernama 'Sekolah Pondok Domba Kolong'. 
Ada pula sebuah musala berwarna putih yang nampak baru rampung dibangun warga. Hal itu nampak dari warna cat yang masih bersih dan baru.
Saat Warta Kota hendak mewawancarai warga, mereka menolak mentah-mentah lantaran merasa sudah terlalu terekspos.
Mereka takut jika pada akhirnya akan kena usir petugas atau pemerintah lantaran mendiami tempat yang salah. 
Padahal, mereka sejatinya hanyalah mencari tempat untuk tinggal lantaran terhimpit ekonomi.
Kendati begitu, salah satu warga yakni Rian meminta maaf lantaran sudah menghalang-halangi awak media masuk ke dalam.
"Kami dari warga Tanjung Duren kepada awak media bilamana kami bersalah untuk menghalangi anda semua, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya," ujar Rian saat ditemui di lokasi, Rabu. 
"Jadi jangan dibesar-besarkan lah, enggak ada hasilnya gitu. Jalankan apa kehidupan masing-masing aja," imbuh dia.
Lebih lanjut, Rian dan para warga sejatinya hanya mengharapkan hidup tenang tanpa gangguan.
"Apa adanya aja menjalankan hidup dari yang Maha Kuasa aja. Kami masing-masing kan kalau kami tinggal di istana kan enggak mungkin, tinggal di kolong ini ya memang udah kehidupannya gini. Yang penting jangan saling ganggu aja," pungkasnya. 
Sementara itu, Lurah Jelambar Baru, Danur Sasono mengatakan, pihaknya kini akan mendata warga yang tinggal di kolong tol.
"Kami melakukan pendataan ulang terkait dengan kondisi yang ada di sini, di area Jasa Marga terhadap adanya masyarakat atau warga yang bermukim atau tinggal di bawah kolong tol," kata Danur saat dikonfirmasi.
Menurutnya, pihaknya sudah melakukan upaya-upaya untuk melakukan pembinaan dan memberi himbauan kepada masyarakat akan bahayanya hidup di bawah tol.
Oleh karena itu, pihaknya akan melakukan sejumlah langkah untuk membenahi orang-orang yang tinggal di tempat tersebut.
Menurut Danur, total ada 32 KK dan 100 orang yang tinggal. 
"Ada beberapa langkah yang dilakukan memperhatikan kesejahteraan, meningkatkan bagaimana martabat mereka lebih layak lagi sebagai warga Jakarta," ujar Danur.
"Tentu kami akan lihat ke depan pimpinan pemerintah tentunya punya hal-hal yang kebaikan untuk masyarakat kami, saudara-saudara kami yang tinggal di bawah kolong tol," pungkasnya. (m40)
Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved