Kekhawatiran UMP 2023 Naik Sebabkan PHK dan Inflasi, Ekonom: Cara Berpikirnya Salah

bila upah minimum dibatasi 10 persen, maka hanya ada sedikit ruang daya beli

Penulis: Leonardus Wical Zelena Arga | Editor: Vini Rizki Amelia
Tribunnewsdepok.com/Hironimus Rama
Massa buruh Kabupaten Bogor kembali melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Bogor di Cibinong, Rabu (10/11/2021) meminta Pemkab Bogor menaikkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bogor tahun 2022. 
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, JAKARTA - Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 untuk DKI Jakarta masih menjadi polemik hingga saat ini.
Diketahui sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah menetapkan kenaikan UMP 2023 menjadi Rp 4,9 juta atau sebesar 5,6 persen.
Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rekomendasi unsur buruh yang meminta kenaikan UMP 2023 sebesar 10,55 persen.
Sementara itu, unsur pengusaha menilai angka tersebut terlalu tinggi dari rekomendasi mereka yang meminta kenaikan UMP 2023 sebesar 2,6 persen.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menegaskan bahwa aturan UMP yang kemudian diberlakukan di banyak daerah, merupakan aturan yang sangat kontradiktif.
"Aturan UMP ini adalah aturan yang sangat kontradiktif terhadap pemulihan ekonomi. Karena naiknya maksimum hanya dibatasi 10 persen," ujar Bhima kepada Warta Kota melalui pesan singkat WhatsApp, Rabu (30/11/2022).
Padahal judulnya adalah UMP, harusnya dari unsur pengusaha bisa saja menaikkan upah di atas 10 persen, begitu juga kepala daerah.
Apabila melihat tantangan ekonomi dari segi inflasi, Bhima menjelaskan hal itu akan membuat daya beli para pekerja (unsur buruh) bisa jatuh di bawah garis kemiskinan.
"Bekerja tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga yang diperlukan adalah kenaikan upah minimum sebagai stimulus dan juga sebagai perlindungan sosial," jelas Bhima.
Ia meyakini, apabila unsur buruh diberikan upah di atas dari inflasi, sisa daya beli tersebut akan dipergunakan langsung untuk berbelanja kebutuhan hidup. 
Hal tersebut akan membuat adanya perputaran uang secara langsung, dan yang diuntungkan adalah pengusaha. 
"Jadi cara berpikirnya selama ini salah. Cara berpikirnya bahwa kalau upah minimum naik nanti banyak terjadi PHK, kemudian akan terjadi inflasi yang tinggi," kata Bhima.
Padahal menurut Bhima, yang terjadi justru upah minimum yang dinaikkan, buruh lebih banyak belanja, itu akan membuka lapangan kerja dan kesempatan kerja baru. 
Namun bila upah minimum dibatasi 10 persen, maka hanya ada sedikit ruang daya beli.
Ditambah kata Bhima, tahun 2023 mendatang terdapat ancaman inflasi di berbagai daerah. Mungkin bisa di atas tujuh hingga sembilan persen.
"Dan itu yang perlu diantisipasi. Jangan sampai mengulang di 2022, di mana upah minimum kenaikannya tidak sampai satu persen. Kemudian yang terjadi adalah penurunan daya beli masyarakat," pungkas Bhima.
Kemudian, hal tersebut membuat pemulihan ekonomi tidak optimal. 
Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved