Cegah Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, Apa Saja Bentuknya?
Dia menjelaskan, ada 21 bentuk tindakan kekerasan seksual yang masuk dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021
Laporan Wartawan Wartakotalive,com, Ign Agung Nugroho
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, JAKARTA - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indraprasta PGRI ( Unindra) baru saja menggelar seminar bertajuk 'Mencegah dan Menangani Kekerasan Seksual di Lingkup Perguruan Tinggi'.
Dalam sesi seminar yang digelar secara hybrid dari Aula kampus Unindra, Jagakarsa, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu itu, membahas terkait Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 beserta undang-undang mengenai kekerasan seksual di lingkup Pendidikan.
Farida Denura, S.Sos, MM, yang juga Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan, PP Pemuda Katolik (periode 2006-2009) menjelaskan, ada 21 bentuk tindakan kekerasan seksual yang masuk dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, yang berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan di lingkungan perguruan tinggi.
"Jadi peraturan ini berbasis gender," katanya.
Namun, menurut Farida, isi Pasal 5 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 itu pun menuai kontroversi.
Baca juga: Tak Ingin Teman-temannya Jadi Korban Pelecehan Seksual, Siswa Kelas XII Ini Ungkap Penyimpangan Guru
Isi Pasal 5 Ayat 2 Permendikbud No 30 Tahun 2021. Adapun salah satu pasal yang disorot adalah Pasal 5 ayat 2. Berikut isinya:
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
- memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
- menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
- menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
- mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
Baca juga: Lindungi Saksi & Korban, Bogor Gercep Siap Kawal Kasus Pelecehan Seksual Pelatih Futsal di Cileungsi
- mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
- membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
Baca juga: Miris, Angka Kekerasan dan Pelecehan Seksual Terhadap Anak di Kota Depok Meningkat Tahun 2021
- memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
- menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
- membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
- memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
- mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
- melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
- melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
- memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
- memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
Baca juga: Seorang Ibu Tangkap Sendiri Pelaku Pelecehan Terhadap Anaknya, Polisi Dianggap Kurang Sensitif
- membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Menjawab salah satu pertanyaan salah satu peserta, perihal adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara dosen dan mahasiswa, di mana dosen lebih dominan atas mahasiswanya,
Menurut Farida bisa menyebabkan seorang dosen memiliki potensi melakukan tindakan kekerasan seksual.
"Dalam hal ini korban seringkali berada di bawah ancaman pelaku misalnya diancam untuk tidak lulus mata kuliah yang dari dosen tersebut, nilai turun, dan ancaman lainnya," katanya
Baca juga: Aksi Pelecehan Seksual Pegawai Honorer Kelurahan Dilakukan Saat Ditugasi Sebagai Mentor Siswi Magang
Terkait semua itu, Farida menyarankan jika mahasiswa atau mahasiswi mengalami kekerasan seksual maka sebaiknya berkonsultasi dengan Pos Sahabat Perempuan dan Anak (Pos SaPA) di lingkungan kampus Unindra.
Pos SaPA merupakan Unit Pelayanan dan Bimbingan Konseling (UPBK) merupakan suatu unit di Unindra PGRI Jakarta untum memberikan pelayanan bantuan profesional untuk mengentaskan masalah-masalah yang dialami seseorang (masalah pribadi, sosial. belajar, karier dan lainnya).
Menutup sesi tersebut, Farida mengajak BEM Unindra PGRI, para mahasiswa-mahasiswi Unindra untuk bersama-sama mencegah terjadinya kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. (ign).