Berita UI
Guru Besar FISIP UI Evi Fitriani: Fleksibilitas Prinsip Bebas Aktif Jadi Kekuatan Indonesia di Dunia
Evi Fitriani dikukuhkan jadi Guru Besar Ilmu Hubungan Internsional (HI) FISIP UI. Sampaikan membangun Perspektif Indonesia dalam HI.
Penulis: dodi hasanuddin | Editor: dodi hasanuddin
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, PANCORAN MAS - Guru Besar FISIP UI Evi Fitriani: fleksibilitas prinsip bebas aktif jadi kekuatan Indonesia di dunia.
Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Evi Fitriani, dikukuhkan sebagai guru besar Bidang Ilmu Hubungan Internasional oleh Rektor UI Prof. Ari Kuncoro.
Baca juga: UI Kembali Menempati No.1 Indonesia Versi US News & World Report Best Global Universities 2022
Pada pidato pengukuhan yang berjudul “Membangun Perspektif Indonesia dalam Ilmu Hubungan Internasional”, ia memfokuskan perhatian terhadap dua masalah.
Baca juga: Fakultas Teknik UI Punya Laboratorium Terintegrasi, Ini Fasilitasnya
Yakni hal yang dihadapi Indonesia sebagai salah satu negara dalam sistem internasional, dan masalah dalam ilmu hubungan internasional di Indonesia.
“Perjuangan Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, terutama untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sangat mulia dan ideal, namun tidaklah mudah. Tekanan struktural dalam sistem internasional dan berbagai masalah domestik menghambat Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Pengukuhan Guru Besar FT UI, Anak Agung Putri Ratna Ingin Kembangkan Computational Thinking Coding
Menurut Evi, Indonesia telah tumbuh dalam sistem internasional tidak ideal yang dibentuk oleh negara-negara pemenang Perang Dunia kedua.
Karakter sistem internasional selama tujuh dekade terakhir diwarnai oleh dua karakteristik.
Pertama, pernyataan ‘the winner takes all’ sistem internasional yang didominasi oleh negara-negara besar atau major powers di bidang politik, keamanan, dan ekonomi.
Dominasi negara-negara besar ini membuat negara-negara sedang membangun, seperti Indonesia tidak memiliki posisi tawar yang kuat.
“Bahwa terdapat saling ketergantungan (interdependence) antar negara di dunia tidak menghalangi beroperasinya hubungan kekuasaan antar negara di dunia karena negara-negara kecil lebih tergantung kepada negara-negara besar dari pada sebaliknya,” kata Evi.
Baca juga: UI Halal Center di Salemba Sudah Dibuka, Rektor Prof. Ari Kuncoro Sampaikan Ini, Berikut Layanannya
Karakteristik kedua sistem internasional pasca Perang Dunia kedua sampai hari ini, lanjutnya, adalah persaingan antar negara-negara besar karena memperebutkan pengaruh politik, kekuatan strategis, dan dominasi ekonomi.
Pembahasan tentang keterbatasan Indonesia juga menguak kelebihan dan kekuatan Indonesia sebagai negara berkembang yang harus bermanuver dalam hubungan internasional di tengah power politics yang umum terjadi dalam sistem internasional.
“Kekuatan dan kelebihan Indonesia --dan negara berkembang lainnya-- selama ini jarang dapat diidentifikasi dan dipahami dalam ilmu hubungan internasional karena dominasi Western-centric dan fokus pada negara besar dalam ilmu ini. Karena itu diperlukan perspektif Indonesia yang lebih mampu menangkap, menerjemahkan, dan memahami karakteristik-karakteristik khusus dari negara yang bukan negara Barat dan bukan negara besar,” tuturnya.
Selain tekanan struktur internasional, keterbatasan Indonesia untuk mewujudkan cita-cita yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 juga berasal dari dalam negara.
“Bagi Indonesia, meningkatkan posisi tawar dalam struktur politik global tidak cukup dengan membenahi garda belakang penampilan negara ini di tengah masyarakat internasional. Diperlukan juga perubahan mindset tentang peran negara bukan hegemonik yang mampu mengubah atau memperkaya discourse dalam ilmu hubungan internasional,” ujarnya.
Baca juga: Jawab Tuntutan Era Revolus 4.0, Rektor UI Prof. Ari Kuncoro Sebut Perlu Konsep Kebudayaan yang Tepat
Evi menambahkan, selain itu, Indonesia menjalankan praktik hubungan internasional khas negara Asia yang agak berbeda dengan cooperative culture di negara-negara Barat.
Dalam banyak kasus, fleksibilitas yang sejalan dengan prinsip ‘bebas aktif’, serta pendekatan informal bahkan kadang personal, menjadi kekuatan Indonesia dalam hubungan internasional.
"Fenomena-fenomena di atas jarang sekali dikemukakan dalam discourse ilmu hubungan internasional yang literatur utamamya banyak berasal dari Amerika Serikat dan Eropa,” ujarnya.
Baca juga: Tanggapan UI Atas Putusan PTUN yang Menolak Gugatan Prof. Rosari Saleh ke Rektor UI
Evi lulus dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI pada tahun 1992, kemudian tahun 1994 berhasil menyelesaikan program magisternya, Modern International Studies, di Leeds University, UK.
Pada 1995, Evi berhasil menyelesaikan studi magister keduanya, Southeast Asian Studies, di Ohio University, USA.
Kemudian tahun 2011, ia meraih gelar Doctor of Philosophy di Crawford School, Australian National University, Australia.
Baca juga: FK UI RSCM Luncurkan Aplikasi LupusKu, Dikembangkan Divisi Alergi Imunologi untuk Pejuang Lupus
Evi cukup aktif dalam menulis buku dan tercatat 5 buku nasional dan internasional yang ia tulis dalam kurun waktu 2012-2016.
Ia bersama tim dari FISIP UI aktif menyusun rekomendasi kebijakan untuk pemerintah Indonesia beberapa judul diantaranya terkait “G20 Indonesia 2022”.
Kemudian “Mewujudkan Masyarakat yang Tetap Aktif, Produktif dan Sehat di Masa Pandemi dengan Perspektif IlmuIlmu Sosial”, dan “Pendekatan Komprehensif dalam Pengelolaan Migrasi Perawat Indonesia pada Tahap Pra-migrasi”.