Universitas Indonesia

UI Dorong Penerapan Aturan Larangan Sunat Perempuan, Ini Bahayanya 

UI dorong penerapan PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, khususnya perihal pelarangan sunat terhadap perempuan dan anak perempuan.

Penulis: M. Rifqi Ibnumasy | Editor: Hironimus Rama
Dok. Humas UI
SUNAT PEREMPUAN - UI mendorong penerapan Peraturan Pemerintah (PP)Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, khususnya perihal pelarangan sunat terhadap perempuan. (Dok: Humas UI) 

Laporan Wartawan TribunnewsDepok.com, M Rifqi Ibnumasy 

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, BEJI - Universitas Indonesia (UI) mendorong penerapan Peraturan Pemerintah (PP)Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, khususnya perihal pelarangan sunat terhadap perempuan dan anak perempuan di Indonesia.

Pasalnya, praktik sunat perempuan atau Pemotongan dan Perlukaan Genital Perempuan (P2GP) masih ditemukan di berbagai daerah. 

Praktik itu sering kali dibenarkan dengan alasan tradisi, sosial, atau keagamaan. Padahal, hal itu tidak memiliki manfaat medis dan bahkan dapat menyebabkan dampak serius terhadap fisik, psikologis, dan sosial bagi perempuan dan anak perempuan.

Peneliti dari Kalyanamitra, Rena Herdiyani, menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian, sampai saat ini praktik P2GP dengan berbagai bentuk masih dilakukan di wilayah Jabodetabek dengan alasan ajaran agama maupun tradisi keluarga atau budaya.

“Walaupun P2GP tidak pernah ada dalam standar kompetensi dokter, bidan dan perawat, dan juga tidak ada dalam kurikulum pendidikan tenaga kesehatan,” kata Rena dalam keterangannya, dikutip, Sabtu (8/11/2025).

“Namun, praktik ini tetap dilakukan oleh bidan, dokter, dan dukun sunat tradisional karena alasan banyaknya permintaan orang tua dan takut sanksi sosial apabila tidak melayani P2GP,” sambungnya.

Dalam temuan penelitiannya, masyarakat tidak memahami bahwa P2GP tidak memiliki manfaat bagi kesehatan Perempuan. Bahkan, P2GP merupakan praktik berbahaya dan beresiko tinggi terhadap kesehatan reproduksi perempuan. 

Masyarakat juga tidak memahami bahwa P2GP merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes), atas dukungan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan lembaga masyarakat, telah mendorong dikeluarkannya PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, khususnya bahwa sunat perempuan dilarang.

Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes, Imran Pambudi menjelaskan bahwa sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi harus dihapuskan, antara lain seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan.

Lebih lanjut, Imran menjelaskan peran Kemenkes dalam pencegahan P2GP ialah mengedukasi publik tentang bahaya P2GP dari sudut pandang kesehatan. 

Hal itu dapat dilakukan oleh para tenaga kesehatan, dengan mengintegrasikan bahaya P2GP ke dalam kurikulum lembaga pendidikan kedokteran, kesehatan, dan kebidanan. 

Selain itu, dilahirkan pula kebijakan yang melarang keras tenaga kesehatan dan lembaga layanan kesehatan untuk memberikan layanan P2GP.

Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga internasional untuk menghapus praktik tersebut. 

Namun, tantangan masih muncul dalam bentuk lemahnya pemahaman masyarakat, terbatasnya data berbasis riset, serta kurang optimalnya pelaksanaan kebijakan di tingkat nasional dan daerah.

Deputi Perlindungan Hak Perempuan KPPPA, Desy Andriani menjelaskan upaya kementeriannya dilakukan lewat peta jalan (roadmap) dan rencana aksi P2GP. 

Aksi itu meliputi advokasi kebijakan pencegahan P2GP dan terintegrasinya pendataan, penguatan advokasi berbasis masyarakat melalui organisasi keagamaan, integrasi FGM/C dalam sistem data nasional, pelibatan orang muda dan Pusat Pembelajaran Keluarga, serta pendekatan multisektor dan kolaboratif dari pemerintah, masyarakat, media, akademisi-pakar, dan dunia usaha.

Sementara itu, dari segi agama, KH Nur Achmad, dosen Kajian Islam dan pengasuh Ponpes Ki Bagus Hadikusumo Jampang Bogor, menjelaskan khitan perempuan dalam pandangan empat mazhab, yaitu syafi‘i (wajib akhfadl ringan), hanbali (kemuliaan), maliki (kemuliaan), dan hanafi (kemuliaan).

“Jadi sebagian besar tidak mewajibkan, tetapi mengakui sebagai tradisi. KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) merekomendasi semua pihak, individu, keluarga, masyarakat, tenaga medis, ulama/tokoh agama, pemerintah, ormas dan lembaga-lembaga masyarakat, lembaga pendidikan, dan media untuk memberikan pemahaman tentang P2GP yang lengkap dan menggunakan perspektif maqashid al-syariah dan kaidah kaidah fiqhiyah,” jelas Nur Achmad.

Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama (Kemenag), Ahmad Zayadi menegaskan sikap Kemenag mendukung penuh PP Nomor 28 Tahun 2024, khususnya Pasal 101-102, perihal penghapusan praktik sunat perempuan.

“Pelibatan aktor layanan keagamaan, tokoh agama, dan lembaga keagamaan dalam upaya pembinaan kepada masyarakat untuk pencegahan P2GP,” ujar Ahmad. (m38)

Sumber: Tribun depok
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved