Legislasi DPR
RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Dinilai Menjadi Ancaman Terhadap Demokrasi
FIB menggelar diskusi publik tentang Problematika RUU Keamanan dan Ketahanan Siber: Bahaya Militerisasi Ruang Sipil di Kampus UI Depok, Jawa Barat
Penulis: Hironimus Rama | Editor: Hironimus Rama
Laporan wartawan TribunnewsDepok.com Hironimus Rama
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, BEJI - Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB) menggelar diskusi publik tentang Problematika RUU Keamanan dan Ketahanan Siber: Bahaya Militerisasi Ruang Sipil di Gedung 9 Lantai 3 Kampus UI Depok, Jawa Barat, Jumat (24/10/2025).
Diskusi ini dilaksanakan dengan kerja sama antara Centra Initiative, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Universitas Indonesia, Imparsial, Reksha Institute.
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber yaitu Wahyudi Jafar - Direktur Reksha Institute, Ardi Manto Putra - Direktur Imparsial, Rusli Cahyadi - Akademisi FISIP UI, Al Araf - Ketua Badan Harian Centra Initiative dan Simpathy dimas - Ketua Front Mahasiswa Nasional (FMN).
Baca juga: UI Paparkan Hasil Riset Budaya dan Kriminologis di 14 Lokasi Rawan Narkoba di BNN RI
Direktur Reksha Institute Wahyudi Jafar mengatakan polemik dan penolakan RUU KKS dilakukan sejak 2014 karena dinilai tumpang tindih dengan UU lain dan membatasi ruang kebebasan sipil.
"Fokus RUU KKS juga salah karena menempatkan kebijakan berpusat pada negara (state-centric) dan bukan perlindungan individu (human-centric). Olh karena itu, RUU Melanggar Prinsip Dasar yang seharusnya fokus pada CIA (Confidentiality, Integrity, Availability), bukan keamanan negara," kata Wahyudi di Kampus UI Depok, Jumat (24/10/2025).
Dia menilai RUU KKS tidak sesuai dengan amanat HAM yang mewajibkan penerapan perspektif HAM dan melindungi perangkat, jaringan, dan individu.
"RUU KKS menyebabkan ambiguitas hukum. RUU KKS mencampuradukkan dan ambigu antara Keamanan Siber (teknis), Pertahanan Siber (strategis/perang antar negara) dan Kejahatan Siber," paparnya.
Sementara Direktur Immparsial, Ardi Manto Putra, berpendapat RUU KKS adalah bentuk konsolidasi dan normalisasi militerisme yang ditandai dengan upaya penempatan militer di ranah sipil, seperti keterlibatan TNI aktif dalam jabatan sipil dan penempatan militer sebagai penyidik tindak pidana siber.
Dia menegaskan bahwa tidak ada batasan yang jelas antara Keamanan Siber (yang seharusnya dipimpin sipil) dan Pertahanan Siber.
"Karena sifatnya yang berorientasi negara (state oriented), RUU ini membawa bahaya nyata berupa pelanggaran privasi, pembungkaman kebebasan berekspresi, dan potensi militer terlibat dalam konflik sipil," ucapnya.
Menurutnya, aktor utama dalam siber sekuriti itu berbeda, dibandingkan dengan pertahanan siber karena sipil berada di garis depan dalam melakukan perlindungan data seperti lembaga pemerintahan. Cyber defense malah jadi tentara.
"RUU KKS masih state oriented dan tidak human oriented, fokus melindungi keamanan negara yang membatasi ruanag kebebasan individu. Ardi Manto Putra juga menyarankan agar Keamanan Siber dan Pertahanan Siber diatur dalam dua undang-undang yang terpisah tidak dicampuradukkan," ungkap Ardi.
Ketua Badan Harian Centra Initiative, Al Araf, menilai politik di Indonesia belakangan ini mengalami regresi, fasisme, otoritarianisme. Regulasi hukum menjadi tidak sehat karena perkembangan politik yang tidak sehat pula.
Ia menilai RUU KKS adalah upaya relasi kuasa negara untuk mengontrol ruang privasi warga, alih-alih mengontrol kekuasaannya sendiri.
| Paris Baguette Buka Gerai di Margo City Depok, Ada Promo Buy 1 Get 1 pada 24-26 Oktober 2025 |
|
|---|
| Car Free Day di Jalan Tegar Beriman Cibinong Digelar Minggu Pagi Akhir Pekan Ini |
|
|---|
| Pasal Pelarangan Penjualan Raperda KTR Ditinjau Ulang, APPSI: Tetap Harus Dihapus, Menindas Pedagang |
|
|---|
| Pengajian Gus Iqdam Digelar di Balai Kota Depok Malam Ini, 240 Personel Gabungan Disiagakan |
|
|---|
| Curah Hujan Tinggi, BNPB Lakukan Operasi Modifikasi Cuaca, Semai Kalsium Oksida di Bogor |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.