"Tapi memang menjadi pertanyaan, kalau keduanya adalah tersangka, lantas siapa korbannya? KDRT bukan victimless crime. Jadi, semestinya ada pelaku dan ada korban," ungkapnya.
"Sebutan 'tersangka' memang merisaukan. Tapi kelak, andai salah satu atau keduanya menjadi terdakwa dan terbukti melakukan kekerasan, hakim boleh jadi akan menemukan alasan pembenar maupun alasan pemaaf," sambungnya.
Sehingga, betapa pun dinyatakan terbukti melakukan perbuatan KDRT, namun alasan pembenar dan alasan pemaaf itu membuat terdakwa tidak divonis bersalah apalagi dihukum.
"Dalam pengalaman saya menangani kasus KDRT, pihak yang merasa menjadi korban acap melapor ke polisi dengan keinginan berkobar-kobar agar pelaku dipenjara," ungkapnya.
Namun, setelah melewati fase emosional, tidak jarang pihak yang merasa menjadi korban bangkit rasionya.
"Dia mulai berpikir bahwa kalau pasangan dipenjara, maka anak akan menjadi 'yatim' atau 'piatu', kredit rumah tak terbayar, pandangan tetangga bisa miring, dll," tandas Reza.
Dengan kata lain, pihak tersebut tersadar, apalagi jika proses pidananya berlanjut sampai jatuh vonis, akan muncul masalah susulan multidimensional.