Menurut Prof. Arif, permasalahan pangan ini memiliki triple burden, yakni underweight, overweight,
dan micronutrient deficiency.
Kondisi ketahanan pangan di Indonesia juga dapat dilihat secara kuantitatif melalui peta Indeks Ketahanan Pangan (IKP). Pada 2021, Bali, Jawa Tengah, dan Jogja menjadi tiga provinsi yang memiliki IKP tertinggi, sedangkan Kepulauan Riau, Maluku Utara, dan Maluku memiliki IKP terendah di Indonesia.
Food lost dan food waste berpengaruh dalam mencapai ketahanan pangan Indonesia. Kampanye perihal
food lost dan food waste seharusnya tidak hanya dilakukan di kelas menengah, tetapi juga di lingkungan
kampus.
Selain itu, kata Prof. Arif, konversi sistem produksi (lahan), seperti lahan sawah, juga harus diantisipasi.
Selain merugikan petani, juga berdampak pada masyarakat yang kehilangan sumber pangan.
“Persoalan impor gandum juga tidak bisa dipisahkan dari ketahanan pangan. Jika impor terus dilakukan,
devisa negara akan berkurang. Padahal, Indonesia memiliki 5 juta hektar sagu yang belum
dimaksimalkan, sehingga dibutuhkan perhatian khusus mengenai sumber pangan lokal. Stigma negatif
pada pangan lokal perlu dihapuskan melalui pembentukan kampanye, revolusi meja makan, hingga
revolusi pendidikan di bidang pangan. Hal ini dapat menguntungkan kedua pihak, baik konsumen
maupun petani,” ujar Prof. Arif.
Sementara itu, Prof. Aji melihat persoalan pangan bukan sebatas persoalan biologis, tetapi juga persoalan budaya.
Kebiasaan makan, seperti konsumsi nasi ataupun roti, menunjukkan peristiwa budaya yang sangat dekat dengan keseharian.
Dalam aktivitas konsumsi, terdapat beragam pengalaman makan yang disebut sebagai khasanah rasa.
Singkatnya, khasanah rasa menjadi kekayaan rasa yang diekspresikan secara berbeda di berbagai daerah.
“Kebijakan homogenitas pangan di masa lalu mengakibatkan makanan pokok masyarakat Indonesia
terpusat pada beras. Khasanah rasa pun terkikis. Oleh karena itu, anak muda saat ini perlu ikut
bertanggung jawab dengan mengubah kembali kebiasaan dan pola makan, sehingga khasanah rasa dapat muncul kembali di masyarakat,” kata Prof. Aji.
Selain rasa, nilai gizi makanan juga perlu diperhatikan. Prof. Sandra melihat pemilihan konsumsi
memiliki pengaruh terhadap permasalahan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Indonesia mengalami masalah defisiensi zat gizi mikro dan kelebihan gizi. Kekurangan hingga defisiensi gizi rentan dialami oleh balita, ibu hamil, dan remaja.
Sementara, anak sekolah dan dewasa memiliki risiko mengalami kelebihan gizi, seperti overweight dan obesitas.
Menurutnya, edukasi melalui media penting dilakukan agar masyarakat dapat menerapkan arahan untuk mengonsumsi makanan bergizi.