Bencana Alam
Waspada Kondisi Cuaca di Jabodetabek Sudah Tak Lazim, Pertanda Ini di Jakarta Utara dan Semarang
Waspada Kondisi Cuaca di Jabodetabek Sudah Tak Lazim, Pertanda Ini di Jakarta Utara dan Semarang, Jawa Tengah.
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, BOGOR - Kondisi cuaca di Jabodetabek saat ini tak baik-baik saja. Hal ini ditandai curah hujan yang tinggi meski di musim kemarau.
Di saat terang benderang tiba-tiba mendung dan turun hujan lebat.
Kemudian mendung yang panjang dan lalu hujan lebat secara tiba-tiba dalam waktu sebentar.
Ahli Meteorologi IPB University, Sonni Setiawan, SSi, MSi, blak-blakan soal femonena alam ini.
Baca juga: Penanganan Banjir Terkendala Pembebasan Lahan, Normalisasi Kali Cileungsi-Cikeas Butuh Rp 800 Miliar
Sonni mengatakan, Jabodetabek dan Indonesia saat ini tengah mengalami fenomena kemarau basah.
Sebuah kondisi cuaca yang tidak lazim yang ditandai dengan curah hujan tinggi meski telah memasuki musim kemarau.
Fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan pola monsun dan anomali iklim global, tetapi juga dipengaruhi oleh aktivitas matahari, khususnya sunspot.
“Secara ilmiah, istilah musim didefinisikan berdasarkan posisi semu matahari relatif terhadap pengamat di permukaan bumi. Ketika matahari berada di selatan khatulistiwa atau Belahan Bumi Bagian Selatan (BBS), wilayah selatan bumi mendapat pemanasan akibat radiasi matahari yang lebih intens,” ujarnya.
Sonni mengungkapkan bahwa pemanasan radiasi matahari di belahan bumi selatan menyebabkan udara di BBS cenderung memiliki tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tekanan udara di BBU.
Baca juga: Hujan di Musim Kemarau Melanda Jabodetabek, BMKG Prediksi Masih Akan Terjadi Hingga Sepekan ke Depan
Sehingga angin bergerak dari BBU ke BBS.
Demikian halnya jika matahari berada berada di utara khatulistiwa atau Belahan Bumi Bagian Utara (BBU. Ini adalah siklus musim.
Menyimpang dari Pola Normal
Dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University ini menyatakan bahwa kondisi saat ini menyimpang dari pola normal.
Seharusnya, saat musim kemarau, curah hujan menurun. Tapi sekarang, justru hujan terjadi terus-menerus. Ini yang disebut sebagai kemarau basah.
Sonni menjelaskan bahwa fenomena kemarau basah bisa disebabkan oleh berbagai faktor.
Beberapa di antaranya adalah fenomena iklim global seperti El Niño dan La Niña, serta Indian Ocean Dipole (IOD).
Baca juga: Anak Nakal Tak Cukup Dikirim ke Barak Militer, Ini Kata Nur Islamiah Psikolog IPB University
Namun, La Nina yang ditandai oleh pendinginan suhu laut di Samudera Pasifik tengah dan timur, saat ini terdeteksi dalam kondisi lemah hingga sedang dan berkontribusi pada peningkatan curah hujan selama musim kemarau.
Sementara itu, IOD yang menunjukkan perbedaan suhu laut di Samudra Hindia berada dalam kondisi netral.
Sebab itu, dampaknya terhadap kemarau basah tahun ini relatif kecil.
“Saat ini tidak ada indikasi kuat El Nino atau La Nina, begitu pula dengan IOD. Yang menarik justru adalah aktivitas sunspot yang berulang setiap 11 tahun dan sedang berada pada puncaknya sejak 2024 dan masih aktif pada 2025,” ungkapnya.
Pertanda Banjir Rob
Sonni menjelaskan, Sunspot adalah titik-titik gelap di permukaan matahari yang menandakan aktivitas radiasi tinggi.
Ketika sunspot meningkat, matahari memancarkan lebih banyak partikel energi tinggi seperti sinar kosmik.
Baca juga: Waspada Banjir Rob di Pesisir Utara pada 28-29 Maret 2025, Pemprov Jakarta Siagakan Pompa Air
Partikel ini dapat mempercepat proses kondensasi di atmosfer dan meningkatkan pembentukan awan, sehingga memperbesar kemungkinan hujan deras.
“Sunspot juga memperbesar gradien potensial listrik dalam awan, sehingga hujan disertai petir lebih sering terjadi. Inilah salah satu faktor yang membuat curah hujan meningkat, bahkan di musim kemarau,” kata Sonni.
Sonny menuturkan, kemarau basah berdampak signifikan pada berbagai sektor.
Di sektor pertanian, fenomena ini bisa menimbulkan kerugian.
Beberapa jenis tanaman yang rentan terhadap kelembapan tinggi akan menurun kualitas dan hasil panennya.
“Selain itu, pola tanam yang telah disesuaikan dengan musim kemarau juga terganggu akibat curah hujan yang tidak menentu,” tambahnya.
Baca juga: Ratusan Hektare Tambak Ikan di Muaragembong Bekasi Gagal Panen Akibat Banjir Rob
Di samping itu, lanjutnya, fenomena kemarau basah juga berpotensi menimbulkan banjir rob di wilayah pesisir utara Jawa seperti Pekalongan, Semarang, dan Jakarta Utara.
“Banjir rob sebenarnya disebabkan oleh pasang air laut akibat gaya gravitasi bulan. Tapi ketika hujan deras turun secara terus-menerus, dan pada saat yang sama terjadi pasang maksimum, volume air yang masuk ke daratan akan meningkat drastis,” jelas Sonni.
Kondisi ini diperparah dengan penurunan permukaan tanah di beberapa wilayah pesisir yang disebabkan oleh pengambilan air tanah berlebih.
“Tanggul laut pun tidak cukup jika daratannya sudah lebih rendah dari permukaan laut. Ini memperparah risiko banjir rob,” tambahnya.
Selain sunspot, fenomena atmosfer lainnya seperti Madden Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby juga turut berkontribusi terhadap anomali hujan.
“Fenomena-fenomena ini memodulasi intensitas hujan ekstrem dalam jangka pendek, dan bisa memperkuat efek hujan pada musim kemarau,” ujar Sonni menutup penjelasannya.
91 Bencana Alam Kepung Kabupaten Bogor, 6.371 Warga Terdampak |
![]() |
---|
Mencekam, Hujan Deras Dibarengi Angin Kencang Landa Citeureup Kabupaten Bogor, 3 Rumah Rusak Berat |
![]() |
---|
Hujan Angin Landa Citeureup Bogor, Tiga Rumah Warga Rusak Berat |
![]() |
---|
Korban Longsor di Sawangan Depok Kini Tak Punya Apa-apa, Awalnya Air Langsung Meresap ke Tanah |
![]() |
---|
Angin Puting Beliung Terjang Bekasi, Puluhan Rumah Rusak dan Mobil Terlempar Puluhan Meter |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.