Nasional

Dianggap Menekan Kebutuhan Masyarakat, Pengamat Pertanyakan Sistem Manajemen dan Efektivitas Tapera

Faisal justru melihat ada beban ekonomi lain yang ditanggung masyarakat kelas menengah ke bawah dengan pemotongan upah 2,5 persen itu.

Editor: murtopo
tapera.go.id
Ilustrasi Tapera -- Kewajiban iuran Tapera merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam menyediakan pembiayaan perumahan untuk Masyarakat Berpendapatan Rendah atau MBR. 

Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Nuri Yatul Hikmah

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, PALMERAH — Program tabungan perumahan rakyat (Tapera) menjadi perbincangan  masyarakat luas saat ini lantaran dianggap memberatkan. 

Program Tapera tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi pegawai negeri sipil (PNS), tetapi pekerja swasta juga terkena getahnya.

Di mana nantinya, gaji pekerja akan dipotong 3 persen untuk program Tapera sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 Tahun 2024. 2,5 persen berasal dari pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja.

Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal memandang bahwa pemerintah sebenarnya punya niat yang bagus melalui program Tapera.

Baca juga: Tolak Program Tapera, Warga Minta Pemerintah Jangan Mengakali dan Memiskinkan Rakyat

Hanya saja, Faisal mempertanyakan bagaimana sistem manajemen dan kelengapan aturan dalam Tapera itu sendiri.

Pasalnya, potongan tersebut menurut Faisal cukup besar untuk pekerja-pekerja swasta kelas menengah ke bawah yang pendapatannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja.

"Apakah kemudian efektif bisa mendorong bagi pemenuhan perumahan bagi karyawan atau bagi pekerja dengan potongan 2,5 persen ?," kata Faisal saat dihubungi Warta Kota, Kamis (30/5/2024).

"Kapan, seperti apa dan efisien atau tidak dari sisi manajemennya itu perlu dipastikan dulu karena yang dikhawatirkan kalau dia tidak efisien, tidak lantas memenuhi tujuan pemenuhan perumahan dengan tepat," imbuhnya.

Baca juga: Masyarakat Banyak yang Menolak Tapera, Mensejahterakan Belum Tapi Pemerintah Terus Membebani

Oleh karena itu, sistem manajemen dalam program Tapera perlu dibeberkan secara rinci agar terang benderang.

Selain itu, Faisal juga mempertanyakan terkait apakah ada kebijakan pendukung Tapera dalam rangka menjamin perumahan untuk masyarakat atau tidak. 

Misalnya, terkait lahan dan klaim peserta Tapera yang sudah menginvestasikan uangnya kepada negara.

"Jadi bukan hanya dari sisi pembiayaan saja, yang mana itu dibebankan kepada masing-masing pekerja dan juga pemberi kerja dalam konteks ini setengah persen," jelas Faisal.

Baca juga: Ekonom Sebut Iuran Tapera Belum Tentu Bisa Atasi Kebutuhan Rumah bagi Masyarakat di Indonesia

"Tapi juga ada permasalahan-permasalahan yang lain dalam pemenuhan perumahan yang harus diselesaikan pemerintah yaitu terutama yang salah satu paling besar menurut saya adalah penyediaan lahan," lanjutnya.

Faisal berujuar, pembahasan terkait lahan dalam program Tapera menjadi sangat penting lantaran harga lahan saat ini mengalami pertumbuhan yang cepat.

Akibatnya, ada kemungkinan harga tersebut nantinya susah diimbangi dengan terkumpulnya dana dari Tapera.

"Ya makin lama tetap makin mahal, makin susah terjangkau, walaupun sudah ada Tapera," ungkapnya.

Faisal mengatakan, salah satu solusi yang fundamental terkait lahan adalah pemerintah harus tegas dalam pembatasan kepemilikan lahan kepada para pemilik modal.

Baca juga: Masyarakat Tolak Mentah-mentah Iuran Tapera, Pengamat: Presiden Jokowi Perlu Membatalkannya

Sehingga, lahan itu bisa disisihkan untuk masyarakat yang tingkat ekonomi menengah dan ke bawah.

"Selama ini kepemilikan lahan yang tidak dibatasi ini memberikan peluang atau mendorong kenaikan harga lahan karena para pemilik modal mudah memilih lahan tanpa batas," kata Faisal.

"Sementara yang kalangan tidak manpu makin kesusahan untuk memperoleh lahan walaupun dengan besaran yang sangat kecil, yang sangat sempit," lanjutnya.

Apabila hal itu tidak dialamatkan dengan baik, kata Faisal, program Tapera tersebut belum tentu menjadi efektif dan efisien dalam pelaksanannya.

Alih-alih menjadi efektif, Faisal justru melihat ada beban ekonomi lain yang ditanggung masyarakat kelas menengah ke bawah dengan pemotongan upah 2,5 persen itu.

"Karena 2,5 persen bagi kalangan bawah itu besar dari gaji. Karena gajinya sendiri sudah terbatas," kata Faisal.

"Upah ril pekerja itu turun, kontraksi, negatif, artinya daya beli sudah turun, ditambah lagi dengan potongan dari pajak, BPJS, ditambah tapera lagi, jadi akhirnya makin menekan kebutuhan yang basic (dasar) bagi masyarakat itu," pungkasnya. (m40)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved