Berita UI
Mudik Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit, Kini Jadi Healing, Ini Penjelasan Kepala Makara Art Center UI
Ini Penjelasan Kepala Makara Art Center UI Dr. Ngatawi Al Zastrouw soal Mudik sudah ada sejak zaman Majapahit, kini jadi Healing.
Penulis: dodi hasanuddin | Editor: dodi hasanuddin
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, JAKARTA - Mudik sudah ada sejak zaman Majapahit, kini jadi Healing, Ini Penjelasan Kepala Makara Art Center UI.
Mudik menjadi tradisi yang lazim dilakukan oleh sebagian masyarakat dunia.
Di Korea Selatan, misalnya, tradisi mudik dilakukan saat perayaan Chuseok yang merupakan festival musim panas Hangawi di tengah musim gugur.
Di Negeri Paman Sam, mudik terjadi saat perayaan thanksgiving yang setiap tahunnya dirayakan pada Kamis minggu keempat bulan November.
Baca juga: Syiar Ramadan Kampus UI, 3 Mahasiswa Universitas Indonesia Juara Lomba Seni Religi Nasional
Sementara itu, di China, setiap Tahun Baru Imlek, warga akan mudik ke berbagai daerah yang dikenal dengan istilah Chunyun.
Senada dengan negara-negara tersebut, masyarakat Indonesia juga mengenal tradisi mudik yang
dilakukan menjelang perayaan Idul Fitri.
Tradisi mudik ini bahkan telah dikenal sejak zaman Majapahit, di mana masyarakat pendatang di suatu daerah kembali ke kampung halamannya saat perayaan tertentu.
Saat ini, tradisi mudik ini diteruskan oleh para pendatang yang tinggal di kota-kota besar untuk pulang ke kampung halamannya dalam rangka bersilaturahmi dan merayakan Idul Fitri bersama keluarga.
Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI), Dr. Ngatawi Al Zastrouw mengatakan bahwa masyarakat desa yang melakukan urbanisasi ke kota tidak dapat melepas budaya desa yang
guyub.
Mereka rindu kampung halaman yang menyimpan banyak kenangan dan rindu sanak keluarga. Upaya melepas rindu ini menemukan momentumnya pada saat Idul Fitri.
Urbanisasi besar-besaran inilah yang menjadi pemicu lahirnya budaya mudik pada saat Hari Raya Idul Fitridengan adanya dimensi efektif atau rasa.
Ia menambahkan bahwa peristiwa mudik ini tidak saja terkait dengan masalah komunikasi yang
dapat digantikan dengan teknologi. Ada dimensi afeksi yang sangat kuat yang terkait dengan tradisi
mudik.
“Teknologi hanya memenuhi aspek kognitif, tetapi tidak dapat memenuhi aspek afektif. Hal
inilah yang menyebabkan tradisi mudik terus bertahan meski sudah ada teknologi komunikasi yang
canggih sekalipun,” kata Dr. Zastrouw.
Baca juga: Wadah Penyebaran Ilmu Pengetahuan, Masjid Ukhuwah UI Terima Nabawi Award 2023 ICMI Pusat
Tradisi mudik dapat bertahan karena memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional (psikologis)
masyarakat.
Kesibukan atas pekerjaan sehari-hari ditambah kerasnya kehidupan masyarakat di
perkotaan, mulai dari kemacetan, polusi, serta kesenjangan yang terasa, menjadikan mudik sebagai
pilihan terapi psikologis.
UI Dapat Dukungan Dana Abadi dari ParagonCorp Senilai Ro 50 Miliar, Wujud Implementasi Kolaborasi |
![]() |
---|
UI Sambut Delegasi Zimbabwe Dipimpin Wakil Kepala Sekretaris Presiden, Bahas Kolaborasi Pendidikan |
![]() |
---|
Di Brasil, Rektor UI Sebut Pentingnya Kerja Sama dan Kolaborasi Antar Perguruan Tinggi Negara BRICS+ |
![]() |
---|
UI Kembangkan Budidaya Lebah Tanpa Sengat, di Klaten Sudah Ada 60 Koloni Lebah |
![]() |
---|
Universitas Indonesia Catatkan Sejarah, Yulianti, Ph.D. Dekan Perempuan Pertama FEB UI |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.