Mahasiswa UI

Cerita Perjalanan Eksistensi Tapol Perempuan G30S - 1956 yang Diungkap Mahasiswa S3 FIB UI

Kisah perjalanan eksistensi tapol perempuan G30S - 1956 yang diungkap mahasiswa S3 FIB Universitas Indonesia.

Penulis: dodi hasanuddin | Editor: dodi hasanuddin
Humas dan KIP UP
Cerita Perjalanan Eksistensi Tapol Perempuan G30S - 1956 yang Diungkap Mahasiswa S3 FIB UI 

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, PANCORAN MAS - Cerita perjalanan eksistensi tapol perempuan G30S - 1956 yang diungkap mahasiswa S3 FIB UI.

Pada 1979, seluruh tahanan politik perempuan 1965 Golongan B dibebaskan dari penahanan.

Pemerintah membuat program re-edukasi mental dan ideologi serta pembekalan keterampilan agar mereka dapat kembali berdampingan dengan masyarakat.

Baca juga: Daftar Rektor Universitas Indonesia dari Masa ke Masa, Nomor Lima Seorang Letnan Jenderal TNI

Akan tetapi, upaya adaptasi ini sering kali dibalas dengan penolakan, baik dari keluarga maupun masyarakat umum.

Mereka pun menjadi pribadi yang tertutup dan cenderung menyembunyikan identitas.

Setelah Reformasi 1998, mantan tahanan politik perempuan mulai membuka diri dan berbaur dengan masyakarat.

Mereka membangun jaringan dan kelompok sebagai organisasi perlawanan serta membangun positioning baru untuk mengubah stigma negatif yang selama ini melekat.

Sejak saat itu, para mantan tahanan politik mulai aktif memperjuangkan hak-hak sipilnya.

Pada masa reformasi, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU-KKR) yang digagas pemerintah ditolak para mantan tahanan karena mengandung pasal yang dianggap merugikan.

Baca juga: Sejarah Nama Rektor Universitas Indonesia, dari Zaman Belanda Hingga Diserahkan ke Pemerintah RI

Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan permohonan maaf kepada para mantan tahanan politik, serta menyampaikan perlunya rekonsiliasi nasional, namun upaya ini gagal.

Para mantan tahanan politik kemudian mengajukan class action agar mereka mendapatkan rehabilitasi nama baik dan kompensasi ganti rugi, tetapi upaya ini kembali gagal.

Para mantan tahanan politik perempuan kemudian membentuk tiga organisasi untuk membangun identitas diri melalui narasi tandingan.

Baca juga: Mahasiswa Universitas Indonesia Temukan Inovasi Pembuatan Plastik dari Limbah Pati Aren dan Tapioka

Narasi tandingan ini didasarkan pada memori kolektif dan pengalaman bersama. Ketiga organisasi tersebut adalah Wanodja Binangkit (WB) dan Paduan Suara Dialita di Jakarta, serta Kiprah Perempuan (Kipper) di Yogyakarta.

Melalui lagu dan pertunjukan seni, mereka menyampaikan narasi baru kepada generasi muda dan masyarakat tentang peristiwa G30S 1965 dari sudut pandang yang berbeda.

Mereka melakukan perlawanan tidak dengan kemarahan, tetapi dengan kelembutan dan kasih sayang.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved