Berita UI

UI Ungkap Fakta Sejarah Indonesia Soal Gerakan Antivaksin dan Ancaman Terhadap Umat Manusia

Fakta sejarah Indonesia terhadap penolakan vaksinasi. Hal itu diungkap UI dalam webinar gerakan antivaksin.

Penulis: dodi hasanuddin | Editor: dodi hasanuddin
Kompas.com
UI Ungkap Fakta Sejarah Indonesia Soal Gerakan Antivaksin dan Ancaman Terhadap Umat Manusia. 

Webinar ini bertujuan membahas secara analitis, komprehensif, dan kritis faktor-faktor yang memicu munculnya resistensi masyarakat di AS dan Indonesia terhadap penggunaan masker, penerapan protokol kesehatan, dan pemberian vaksin. 

Tiga pembicara dalam webinar ini adalah Prof. Dr. dr. Rachmadi Purwana, S.K.M., Guru Besar Sekolah Ilmu Lingkungan UI, Peter Suwarno, Ph.D., Associate Professor dari Arizona State University, dan Dr. Phil. Suratno, dosen dan Ketua The Lead Institute, Universitas Paramadina dan Pengurus Lakpesdam PBNU.

Moderatornya adalah Amelita Lusia, Kepala Biro Humas dan KIP, dosen Program Pendidikan Vokasi, dan alumni Kajian Wilayah Amerika.

Prof. Rachmadhi memaparkan sejarah mutasi virus yang terkait dengan Covid-19, yaitu SARS, MERS, dan virus Covid-19. 

Penolakan terhadap vaksinasi juga telah menjadi bagian dari sejarah manusia, selain sejarah penyebaran virus mematikan itu.

Ia menekankan pentingnya herd immunity yang mampu menyebabkan matinya virus Covid-19 ketika penyebaran virus turun di bawah critical threshold.

Saat ini, menurut Prof. Rachmadhi, ada tiga hal yang mengancam umat manusia, yaitu perubahan iklim, ketimpangan sistemik (terutama di Indonesia), dan pandemi Covid-19, yang harus kita hadapi secara strategis.

Baca juga: Podcast UI: Kejar Mimpi Universitas Top Dunia, Universitas Indonesia Garap 4000 Riset per Tahun

Ia menekankan pentingnya ilmu pengetahuan, perlakuan wajar ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan (tidak digunakan sebagai alat politik), kesatuan sosial, peran serta masyarakat dalam penanganan pandemi Covid-19, serta kepemimpinan nasional.

Peter Suwarno, Ph.D. memberikan penekanan pada peran ilmu pengetahuan dalam penanganan masalah kesehatan di Amerika Serikat, dan bukan politik atau agama.

Ia  menyoroti pertentangan antara sains dan agama yang sudah berlangsung lama di AS, yang bermuara pada pertentangan antara kelompok liberal dan kelompok konservatif.

Pendukung gerakan anti-vaksin pada umumnya termasuk ke dalam kelompok konservatif. Semakin fundamentalis seseorang, semakin gigih penolakannya terhadap penerapan protokol kesehatan dan vaksinasi.

Baca juga: Universitas Indonesia Komitmen dalam Pencegahan Paham Radikalisme dan Terorisme

Uniknya, tidak ada pembenaran teologis sama sekali dalam hal penolakan vaksin, dan justru di AS orang-orang yang dikenal sebagai pemuka agama justru seringkali menjadi korban dari virus Covid-19.

Fakta menarik yang ia ungkapkan adalah bahwa dalam konteks Indonesia, relijiusitas masyarakat ada pada angka 96 persen, namun penolakan terhadap sains justru sangat minim. Hal ini adalah sesuatu yang patut disyukuri dari situasi di Indonesia.

Dr. Phil. Suratno mengemukakan bahwa dalam sejarah Indonesia, penolakan vaksin sudah berlangsung semenjak era kolonial, era Orde Lama, era Orde Baru, dan berlanjut pada era Reformasi.

Ia menyoroti strategi yang telah diterapkan di Indonesia dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai perlunya vaksinasi, yaitu dengan pembeberan fakta-fakta ilmiah, pernyataan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mendukung pemberian vaksinasi oleh Pemerintah, serta pemberian vaksinasi terhadap tokoh publik yang dipublikasikan secara luas.

Ia menekankan bahwa dalam Islam imunisasi dan vaksinasi hukumnya pada dasarnya adalah boleh atau diizinkan (mubah), dan bila ada sebagian masyarakat yang mempercayai bahwa iman percaya mereka akan mampu menyembuhkan penyakit fisik, ini adalah bagian dari imajinasi spiritual yang tidak memiliki pembenaran.

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved