Serikat Buruh hingga Akademisi Tolak Revisi Permenaker Soal Aturan JHT Dicarikan Saat Usia 56 Tahun
Adanya program JKP juga mendapat kritik dari Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI), Aloysius Uwiyono.
Penulis: Alex Suban | Editor: murtopo
Menurutnya, program JKP yang hanya diberikan selama enam bulan belum tentu menjamin para pekerja untuk kembali memperoleh pekerjaan baru pasca menjadi korban PHK
“JKP itu menurut saya maunya memang supaya memang bekerja kembali setelah mendapat cukup selama enam bulan ia mendapatkan pekerjaan baru. Itu idealnya. Tapi kenyataannya belum tentu, pekerja korban PKH itu mendapatkan pekerjaan lahi. Apalagi dalam situasi sulit seperti ini (Pandemi Covid-19) kan sangat merugikan pekerja,” kata Aloysius saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Rabu (16/2/2022), malam.
Penulis buku Asas-Asas Hukum Perburuhan ini menyebut, program JKP yang berisi paket upah minimun, pelatihan kerja, informasi lowongan kerja hanya menjadi obat penenang sementara bagi buruh-buruh yang terkena PHK.
“Jadi hanya sebagai penenang pekerja saja untuk mendapatkan pelatihan dan upah yang minimum itu,” sambungnya.
Baca juga: Dana JHT Baru Bisa Cair Usia 56 Tahun, KPBI: Negara Jangan Intervensi Hak Buruh
Pro pengusaha
Dengan ditetapkannya Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, Aloysius menilai bahwa pemerintah saat ini sangat pro kepada pengusaha dan di sisi lain, kerap membuat kebijakan yang merugikan buruh.
“Ya, memang (pro pengusaha) karena kebijakan-kebijakan yang dibuat merugikan buruh. Misalnya, pesangon, dalam Undang-undang Cipta Kerja No 11 tahun 2020 kan diatur ketentuannya lebih rendah dari aturan sebelumnya di UU 13 tahun 2003 Ketenagakerjaan,” sebutnya.
Baca juga: Buruh: Dana JHT Milik Pekerja Harapan Satu-satunya Bila Mereka Kehilangan Pekerjaan Atau Kena PHK
Hal serupa juga dikatakan oleh Nining. Ia menyebut, jauh sebelum revisi Permenaker No. 2 tahun 2022, Pemerintah Indonesia saat ini lebih suka memberikan karpet merah kepada investasi tapi mengabaikan aspek kemanusiaan, perlindungan, keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
“Iya kalau kami memang menyatakan bahwa sebelum revisi Permenaker ini pemerintah sudah pro pengusaha, beberapa kali mulai dari RKUHP, UU Minerba, UU Ketenagakerjaan yang kemudian dijadikan satu model yaitu UU Omnibus Law Cipta Kerja,” pungkas Nining. (m29).