Kisah Inspiratif

Sekolah Masjid Terminal Depok, Menjangkau yang Tak Terjangkau Lewat Ruang Kelas Kontainer

Sekolah Masjid Terminal Depok, Menjangkau yang Tak Terjangkau Lewat Ruang Kelas Kontainer. Berikut Selengkapnya

Penulis: Alex Suban | Editor: Dwi Rizki
Warta Kota
Nurokhim, salah satu pendiri Sekolah Master, saat ditemui di lokasi pada Selasa (18/1/2022).  

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, DEPOK - Sebuah gedung berbentuk letter U yang terletak persis di belakang Terminal Depok ini terlihat mencolok dari bangunan lain yang ada di sekitarnya.

Gedung warna-warni yang tersusun dari tumpukan kontainer itu merupakan ruang kelas dari Sekolah Masjid Terminal (Master).

Sekolah Master merupakan sekolah alternatif yang diperuntukkan bagi para warga yang kesulitan memperoleh akses pendidikan, seperi anak jalanan, anak disabilitas, anak terlantar, anak berkebutuhan khusus dan anak yang berhadapan dengan persoalan hukum.

Menurut Nurokhim, sebagai salah satu pendiri Sekolah Master, menceritakan awal mula terbentuknya sekolah bagi kaum marjinan tersebut.

Sekolah ini dibangun dari rasa prihatin terhadap anak-anak yang terdampak krisis monoter 1998.

Saat itu, ujar Nurokhim, peristiwa krisis moneter 1998 menyebabkan sejumlah pabrik, dan mal ditutup. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana.

"Karyawan banyak yang diberhentikan pasca 98 itu. Jadi korbannya anak-anak. Jadi ketidakberdayaan keluarga itu berimbas pada ketelantaran anak," kata Nurokhim saat ditemui di Sekolah Master pada Selasa (18/1/2022), siang.

Sebagai orang yang sudah lama menetap di area Terminal Depok, Nurokhim kerap menyaksikan anak-anak yang gemar membaca koran dan majalah sobek.

Melihat hal tersebut, Nurokhim terpanggil untuk mendirikan kelompok belajar. Kelompok belajar inilah yang nantinya berganti nama menjadi Sekolah Master.

Baca juga: Kisah Desty, Gadis Cantik yang Pilih Mulung Barang Bekas untuk Kejar Mimpi Bisa Sekolah Lagi

Baca juga: Cegah Proyek Mangkrak, Wakil Bupati Bogor Minta Perencanaan Dilakukan Terintegrasi Lintas Dinas

"Ada beberapa anak yang saya temukan dengan buku koran dan majalah yang sobek, dibaca. Dia ngajarin adiknya. Dia putus sekolah, adiknya gak bisa sekolah," sambung Nurokhim.

Saat itu, kelompok belajar yang didirikan oleh Nurokhim belum memiliki ruang kelas tetap. Mereka belajar dari kios-kios yang ada di Terminal Depok.

Bergiliran, sembari memantau kios mana saja yang kosong dan bisa dijadikan tempat kumpul.

Seiring waktu, kelompok belajar ini makin besar dan banyak peminat.

Hal tersebut berdampak pada kurang maksimalnya proses belajar mengajar, baik dari kurangnya tenaga pendidik maupun ruang kelas.

Guna mengatasi hal tersebut, Nurokhim meminta bantuan kepada para mahasiswa tingkat akhir dari sejumlah kampus di Kota Depok.

Sebagai balas jasa, Nurohkim menyediakan kos dan biaya transport kepada sejumlah relawan mahasiswa.

Baca juga: Doktor FIA UI Angkat Isu Urgenitas Prinsip Good Governance pada Lembaga Peradilan

Baca juga: Tak Ada Pilih Kasih, Polda Metro Jaya Tilang 81 Mobil Berpelat Nomor Dewa yang Langgar Ganjil Genap

"Mereka (mahasiswa tingkat akhir) yang bingung tempat tinggal, biaya kuliah. Terus kami kasih dia kos, bantu transport. Akhirnya dia gabung jadi relawan. Itu relawan angkatan pertama," jelasnya.

Adapun para siswa angkatan pertama Sekolah Master mayoritas berasal dari muda-mudi yang sering kongko di Terminal Depok.

Ada juga para siswa angkatan pertama yang berlatarbelakang supir angkot, kondektur, pemulung, dan pengamen.

Nurokhim pun mengaku tak kesulitan untuk menarik para anak jalanan untuk aktif di Sekolah Master.

Pasalnya, saat itu Nurokhim juga membuka warung makan di Terminal Depok. Warung miliknya kerap kali dijadikan sebagai base camp bagi para anak jalanan.

"Saya buka warung yang dijadiin tempat nongkrong. Saya bilang ke anak-anak 'Yaudah kamu belajar di sini nanti teman-teman mahasiswa yang ngajarin'," kenang pria keliharan Tegal tersebut.

Memasuki tahun 2016, sejumlah dosen dan komunitas peduli pendidikan mulai mengajukan diri untuk menjadi relawan di Sekolah Master.

"Teman-teman Perkumpulan Homeschooler Indonwsia dan Rumah Belajar Universitas Indonesia gabung ke sini," ucap Nurokhim.

Lebih lanjut, ayah dari empat orang anak ini menceritakan, sebelum dipermak pada tahun 2018 dengan kontainer dan beberapa atribut sekolah. Daerah itu merupakan kawasan prostitusi dan pusat perjudian.

"Lahannya saya bebasin semua. Dananya dari hasil patungan dan semua barang di sini mereknya Kasio -Dikasih Orang," cerita Nurokhim, dengan tawa.

Sebelum menjadi bangunan permanen berbahan besi, ruang kelas Sekolah Master awalnya hanya dibangun dengan material bambu. Ruang kelas itu hanya bertahan selama 1 bulan.

Nurokhim kembali memperbaiki kualitas bangunan dengan bahan kayu, namun bangunan itu hanya bertahan selama 2 bulan.

Ide untuk membangun ruang kelas dengan media konteiner berawal dari sejumlah perusahaan swasta yang menawarkan beberapa unit konteiner kepada Nurokhim. Biasanya, konteiner-konteiner itu difungsikan sebagai peti kemas atau mes bagi pekerja tambang

"Konteiner Ini kan dari Antam, Bank Mandiri, Nindya Karya, Damanom, Pelindo, beda-beda perusahaan," jelasnya.

Kurikulum Berbasis Kebutuhan

Berbeda dengan sekolah konvensional, Sekolah Master memiliki kurikulum khusus. Nurohkim menyebutnya senagai Kurikulum Berbasis Kebutuhan (KBK).

Pria kelahiran 1971 ini menjelaskan, KBK adalah penyesuaian mata pelajaran dengan minat dan bakat siswa. Ia mencontohkan, apabila ada siswa yang pandai dalam aspek akademik, pihak pengajar di Sekolah Master akan memberikan mengarahkan si siswa untuk memperoleh pendidikan lanjutan di Perguruan Tinggi Negeri.

Kemudian, jika ada siswa yang memiliki nilai plus di aspek religi, siswa akan diarahkan untuk belajar agama, bahasa arab, dan hafal qur'an.

Nurokhim menyadari, tidak semua anak asuhnya memiliki kemampuan kognitif yang baik. Bagi para siswa yang sering kali wara-wiri di ruang kelas, pihak sekolah akan mengarahkannya ke mata pelajaran yang berhubungan dengan wirakarya dan wiraswasta.

"Jadi kita lihat passion anak, itu gak bisa dipaksakan. Jadi belajar di sini itu sesuai kompetensi," paparnya.

Perihal tenaga pendidik, Sekolah Master memiliki tiga jenis yang berbeda. Tenaga relawan inti, pendamping, dan guru tamu.

Relawan inti merupakan kaderisasi dari pada alumni Sekolah Master. Mereka lah yang diproyeksikan menjadi pengurus yayasan.

Kemudian, tenaga pendidik pendamping berasal dari kerjasama dengan program pengabdian masyarakat dari mahasiswa dan dosen.

Terakhir adalah guru tamu. Mereka adalah pejabat kementerian, perusahaan, atau dinas terkait yang memberikan kuliah tamu. Umumnya guru tamu hanya ada di hari tertentu dan dengan waktu yang singkat.

"Misal masih ceramah yang menginspirasi dan motivasi. Kalau sekolah model gini itu harus fleksibel dan gak bisa kaku," terang Nurokhim.

Sekolah Master memiliki visi melayani yang tak terlayani, menjangkau yang tak terjangkau. Mulai dari usia anak hingga para orang tua yang telah memiliki anak. "Semua bisa sekolah," ajaknya.

Saat ini, sudah ada 3000an siswa yang terdaftar di Sekolah Master. Mulai dari tingkau PAUD, SD, SMP, hingga SMA.

Adapun biaya operasional Sekolah Master berasal dari donatur dan gotong royong. Semua masyarakat yang ingin terlibat dalam pengembangan Sekolah Master boleh mendonasikan apapun.

"Punyanya beras, telor, yakin saja. Kalau kami yakin di jalan kebaikan, Allah akan kasih solusi dan rizki dari jalan tak disangka-sangka. Tanpa saya bikin proposal. Misal ada yang nulis tentang sekolah ini pasti ada 1 atau 2 orang telpon saya. Jadi itulah yang dibilang energi positif," ungkap Nurokhim.

Terakhir, Nurokhim mengatakan segala persoalan sosial akan terasa lebih ringan jika dikerjakan secara komunal dan gotong royong.

"Masyarakat itu harus ada gerakan-gerakan sosial yang sifatnya kolektif dan gotong royong. Jadi persoalan besar jadi ringan," jelasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved