Metropolitan

Polemik Halte Transjakarta Bundaran HI, Transjakarta Acuhkan Rekomendasi Tim Ahli Bangunan Gedung

Transjakarta Acuhkan Rekomendasi TABG soal Pembangunan Halte di Bundaran HI

Editor: Dwi Rizki
Warta Kota
Halte Transjakarta Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jalan MH Thamrin, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Selasa (4/10/2022) 

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, JAKARTA - Langkah PT Transjakarta yang membangun halte ikonik di kawasan heritage (warisan) cagar budaya di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat disesalkan.

Transjakarta dianggap mengacuhkan rekomendasi yang disampaikan Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) DKI Jakarta soal pembangunan halte di lokasi cagar budaya.

Anggota TABG DKI Jakarta Yayat Supriatna mengatakan, catatan tersebut telah disampaikan kepada Transjakarta saat ingin merevitalitasi halte, atau tepatnya 16 Juni 2021.

Namun rekomendasi itu diabaikan, sehingga halte ikonik tetap dibangun Transjakarta di median jalan, tepatnya di Jalan Sudirman-Thamrin.

“Jadi, sebetulnya catatan tentang hal-hal yang harus diubah dan didesain ulang menyesuaikan dengan lingkungan itu, ternyata tidak dipenuhi Transjakarta,” kata Yayat Supriatna di Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta pada Jumat (7/10/2022).

Yayat mengatakan, TABG juga sudah menyampaikan persoalan ini kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta yang mengeluarkan perizinan.

TABG meminta kepada DPMPTSP agar Transjakarta menyelesaikan segala yang diusulkan oleh para ahli bangunan di Jakarta.

Baca juga: Personil Kotak Balas Klaim Posan Tobing yang Marah Besar di Medsos, Tantri : Tak Layak Minta Royalti

Baca juga: Heru Budi Hartono Ditunjuk Jokowi Jadi Pj Gubernur DKI, Fraksi NasDem Akui Siap Bermitra

“Tetapi praktiknya ternyata apa yang kami rekomendasikan itu tidak ditindaklanjuti setahun yang lalu, dan ujung-ujungnya sekarang sudah ada bangunan sehingga menimbulkan polemik di masyarakat,” jelas Yayat dari Universitas Trisakti itu.

Lantaran diacuhkan, TABG kemudian melayangkan surat berisi hasil kajiannya itu kepada Pemprov DKI Jakarta.

Yayat berharap, ada tindaklanjut positif dari Pemprov DKI Jakarta atas rekomendasi yang diberikan TABG terhadap pembangunan halte di kawasan Bundaran HI.

“Sekarang tinggal bagaimana Pemprov DKI menyikapi hal tersebut supaya persoalannya bisa diselesaikan, bukan berlanjut,” imbuhnya.

Yayat menjelaskan, catatan yang disampaikan TABG kepada Pemprov DKI Jakarta agar memperhatikan sejarah heritage di wilayah setempat.

Ketinggian halte di sana juga juga harus diperhatikan, bukan setinggi dua lantai seperti sekarang.

“Kemudian yang jadi pertanyaan, apakah bangunan halte ikonik ini akan melupakan sejarah masa lalu dan merubah bentang ruangnya yang lebih menekankan pada sisi komersial ataukah menjadi yurisprudensi ke depan?,” tanya Yayat.

Menurutnya, pembangunan halte di sana menimbulkan konflik ruang karena secara cagar budaya, kawasan Sudirman-Thamrin merupakan struktur pembentuk ruang Jakarta baru di era tahun 1960-an.

Kondisinya sangat berbeda dibanding Jakarta old atau ketika masih dijajah oleh kolonial Belanda

“Jadi, bicara Bundaran HI, bicara Thamrin dan bicara Sudirman adalah bicara sejarah Jakarta dengan pembentuk ruangnya itu adalah Thamrin-Sudirman, kemudian Tugu Selamat Datang sebagai tengaran, lalu Hotel Indonesia dan Wisma Nusantara sebagai (sejarah) bangunannya,” jelas Yayat.

Kata dia, Pemerintah DKI Jakarta memang belum mengeluarkan penetapan bahwa Kawasan Sudirman-Thamrin sebagai cagar budaya.

Namun berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sebetulnya kawasan itu sudah masuk sebagai kategori cagar budaya karena sudah berusia lebih dari 50 tahun.

“Menurut peraturan daerah memang belum dibuat, tapi menurut UU Cagar Budaya bahwa kriteria itu sudah terpenuhi. Sekali lagi, posisinya adalah sebagai struktur heritage dan harus diingatkan dia (Kawasan Sudirman-Thamrin) menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari sejarah Jakarta,” ungkapnya.

Yayat bilang, pembangunan halte di sana juga dipersoalkan karena berdiri di lahan publik namun diubah menjadi lahan bisnis atau private.

Padahal Transjakarta hanya mengantongi Izin Membangun Prasarana (IMP) untuk menunjang transportasi bus

“Kalau sebagai prasarana artinya yang dibangun itu sebagai penunjang sarana bus, tapi kalau di situ dibangun ada komersil tambahan seperti kafe itu sudah jadi fungsi komersial,” jelasnya.

“Kalau itu sudah jadi fungsi komersial otomatis harusnya ada mekanisme Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tapi dia tidak menggunakan itu namun memakai IMP,” sambungnya.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved