Podcast UI
Sosok drg. Nurtami, Ph.D., Sp, OF(K), Dokter Gigi yang Ahli dalam Ilmu Forensik
Kegemarannya akan profesi dokter gigi bertambah saat menyaksikan acara TV yang mempertontonkan profil dan praktik seorang dokter gigi
Penulis: Alex Suban | Editor: Umar Widodo
Laporan Tribun News Depok, Muhamad Fajar Riyandanu
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, DEPOK – Wakil Rektor Universitas Indonesia (UI) Bidang Riset dan Inovasi, drg. Nurtami, Ph.D., Sp, OF(K), merupakan salah satu lulusan UI yang memilih kembali ke kampus kuning untuk mengabdi di almamaternya.
Wanita yang lahir di Jakarta, 48 tahun silam ini merupakan puteri dari seorang dosen ekonomi UI. Sejak remaja, bungsu dari tiga bersaudara ini sudah gemar ilmu kesehatan dan seni.
Usai lulus SMA, Nurtami sudah menetapkan diri untuk belajar kedokteran gigi di UI. Alasannya sederhana, menuruti keinginannya sebagai ahli Kesehatan dan biologi yang mengerjakan kerja-kerja seni.
Kegemarannya akan profesi dokter gigi bertambah saat menyaksikan acara TV yang mempertontonkan profil dan praktik seorang dokter gigi.
“Kalau di dentist (dokter gigi) seimbang antara art dan science. Karena estetik, saya pilih prodi kedokteran gigi,” kata Nurtami saat ditemui di Integrated Laboratory Research Center UI, Jumat (25/2/2022), siang.
Usai lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UI pada tahun 1997, Nurtami melanjutkan studi doktoralnya di negeri Sakura, tepatnya di Tokyo Medical and Dental University pada tahun 2006.
Selesai meraih gelar doktoral, Nurtami langsung kembali ke UI untuk mengabdi dan berkarir sebagai dosen di FKG UI.
Sambil menjadi pengajar dan melayani praktek Kesehatan gigi, Nurtami juga disibukkan dengan pengerjaan riset yang lebih mengarah pada ilmu patologi.
Riset-riset yang ia kerjakan lebih banyak membahas tentang ilmu patologi dan forensik yang membahas tentang kelainan tubuh sampai kematian.
“Justru saya sekarang lebih ke arah riset patologi dan forensik. karena gigi itu menjadi salah satu alat untk melakukan identifikasi seseorang. Gigi itu masuk dalam identifier primer selain sidik jari, gigi dan DNA. Jadi ini sekarang menjadi profesi saya,” sambungnya.
Sejak aktif menjadi tenaga forensik, Nurtami kerap berhubungan dengan mayat, terutama saat melakukan proses identifikasi.
Menurutnya, saat melakukan proses identifikasi, dirinya tidak pernah sendiri. Ia berkolaborasi dengan lintas profesi seperti patolog dari kedokteran, antropolog, ahli DNA, dan ahli sidik jari.
“Jadi kalau di ruang identifikasi itu kita bekerja satu tim, gak pernah sendirian. Kalau sendirian ya agak merinding juga,” tambahnya.

Terjun ke dunia forensik
Nurtami menceritakan, sejak aktif di forensik, kedua orang tuanya sempat bertanya-tanya sebelum akhirnya mendukung penuh.
Pertanyaan yang sering dilontarkan yakni ‘apa masih buka praktik dokter gigi’ hingga ‘mengapa sering pulang larut malam’.
“Jadi pada saat saya masih tinggal bersama orang tua, yang saya biasa sore sudah di rumah, mulai pulangnya molor tuh, jam 8 malam ayah saya masih nunggu di depan pintu. Sampai saya gak pulang. Tapi kemudian orang tua saya dari yang sebelumnya sering nanya sampai gak nanya lagi karena pada saat saya tidak pulang, di TV sudah muncul berita bencana. ‘oh, artinya anak saya sudah tugas’. Jadi gak nanya lagi,” jelas Nurtami.
Dalam ranah forensik, Wanita yang juga aktif sebagai dosen di FKG UI ini kerap kali terlibat dalam proses identifikasi dalam kasus-kasus besar seperti kecelakaan pesawat jatuh dan bencana alam.
Karena mendalami riset yang mengarah pada biomolekuler, Nurtami dipercaya untuk mengidentifikasi korban melalui gigi dan DNA.
Dirinya pun tak menyangka jika seorang lulusan Kedokteran Gigi bisa terjun ke dunia forensik.
Kejadian itu bermula saat dirinya menyelesaikan skripsi yang membahas tentang kedokteran gigi forensik. Saat itu, ujar Nurtami, tema tersebut kurang popular di mayoritas mahasiswa FKG.
Usai menjadi asisten dosen pasca dari UI, Nurtami dipanggil ke RSCM untuk membantu proses identifikasi jenazah.
Di sana, ia kembali memperdalam ilmu forensik melalui Mun’im Idris, seorang ahli forensik Indonesia yang juga aktif menulis buku-buku seputar ilmu forensik.
“Saya masuk jadi asisten dosen, setiap ada kasus yang terkait dengan gigi saya dipanggil ke RSCM ke tempatnya almarhum dokter Mun’Im Idris,” cerita Nurtami.
Singkat cerita, usai lulus dari Tokyo Medical and Dental University pada tahun 2006, Nurtami kembali ke UI dan ikut dalam sebuah konferensi forensik.
Saat itu, acara tersebut disebarluaskan melalui media poster yang ditempel di sejumlah tempat di UI.
Tanpa sengaja, Nurtami memperhatikan sejumlah orang yang berkerumun sembari melihat poster yang di sana tertulis nama dan riset-riset mahasiwa DNA forensik yang pernah ia tulis.
Usai menghampiri dan bertanya, Nurtami mengetahui bahwa orang-orang yang berkerumum itu merupakan anggota Polri.
“Saya masih ingat banget itu, poster saya dikerubungi, ditonton. Saya lihatin saja dari jauh, ternyata yang kerubungin poster saya itu dari Polri,” kenangnya.
Dari percakapan itu, Nurtami mendapat informasi bahwa Polri sedang membuat Lab DNA Forensik pada tahun 2007.
Para anggota Polri yang sudah mengetahui rekam jejak Nurtami mengajak dirinya untuk menjadi konsultan di Lab DNA tersebut.
“Jadi begitu mereka tahu rumah saya dekat dari lab dan mendalami ilmu forensik, saya langsung dipanggil dan saya diminta untuk menjadi konsultan. Wah enak juga rumah dekat dari lokasi dan bisa kerja di lab. Minggu depannya saya dipanggil. Dan lab itu deket sekali dengan rumah saya cuma 5 menit. Saya kan tinggal di daerah Rawamangun waktu itu,” ujarnya.
Dari pengalaman bekerja di Lab Forensik Polri tersebut, Nurtami mulai akrab dengan orang-orang dan komunitas yang ahli di bidang forensik. Ilmu forensic memberi sebuah pelajaran berharga.
Nurtami mengatakan, melakukan identifikasi forensik seyogiaya memperhatikan aspek nilai budaya, agama, dan kepecayaan masyarakat.
Selain itu, ia juga belajar untuk mengedepankan sifat kerja tim dan mengurangi penonjolan diri sendiri dalam ruang kerja.
“Dalam ruang forensik, tidak hanya mengedepankan nilai-nilai sainsnya, tapi juga berbicara pada budaya Indonesia yang beragam. Kemudian juga empati terhadap orang mengalami bencana. Jadi kepekaan itu yang harus terasah dalam setiap insan profesi forensik. Dan sifat yang menonjolkan diri itu untuk semakin dikurangi dan lebih ke kerja tim, Itu yang saya peroleh dari pengalaman saya,” pungkasnya. (m29)