Penelitian UI
Penelitian UI, Kejahatan Kerah Putih Dimulai Tahun 1907, Begini Penjelasannya
Begini penjelasan penelitian Universitas Indonesia (UI) terkiat kejahatan kerah putih yang dimulai tahun 1907.
Penulis: dodi hasanuddin | Editor: dodi hasanuddin
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, PANCORAN MAS - Penelitian UI, kejahatan kerah putih dimulai tahun 1907, begini penjelasannya,
Kejahatan kerah putih atau white collar crime merupakan sekelompok kejahatan spesifik yang bertentangan dengan hukum pidana, dan dilakukan oleh pihak profesional --individu maupun badan hukum.
Baca juga: Dosen FEB UI Kalahkah 5 Penelitii Asia, Jadi Satu-satunya Peneliti Indonesia yang Raih EYRA 2021
Pelaku kejahatan ini, menurut Supriyanto, adalah orang dengan status sosial tinggi di pekerjaannya.
Kejahatan ini diidentifikasi sebagai kejahatan finansial, operasi bisnis, penipuan konsumen, maladministrasi, dan penipuan terhadap pemerintah.
Pada promosi doktornya di Fakultas Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Supriyanto menjelaskan, kajian terhadap kejahatan kerah putih telah dimulai sejak 1907 saat munculnya orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi melalui citra diri di masyarakat.
Baca juga: Dies Natalies ke-72 Universitas Indonesia, Tak Tergoyahkan Sebagai Kampus Nomor Satu di Indonesia
Pada 2014–2018, kejahatan finansial di Indonesia tergolong dinamis dengan total kasus sebanyak 241.367.
Pada 2018, wilayah satuan hukum Polda Metro Jaya mencatat jumlah kasus tertinggi, yaitu sebanyak 5.526 kasus kejahatan finansial.
Dalam disertasinya yang berjudul “Criminaloid dan Organizational Criminogenic Elaborasi terhadap Kasus-Kasus Kejahatan Finansial”, Supriyanto menyebutkan bahwa determinan pendorong pelaku kejahatan finansial meliputi faktor sosio-ekonomi yang mengacu pada nature of industry.
Baca juga: Universitas Indonesia Bantu BUMDes Megamendung Bogor untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Konsep ini menawarkan kemudahan serta memberikan harga murah dan keuntungan yang berlimpah dalam waktu singkat.
Determinan lainnya ialah karakteristik sosio-ekonomi korban. Selain itu, kondisi penegakan hukum yang cenderung koruptif juga dimanfaatkan oleh pelaku untuk menetralisasi serta melegitimasi perilaku menyimpang mereka.
Kajian aspek determinan dalam kejahatan finansial ini menggunakan ilustrasi kasus “First Travel” dan “Koperasi Simpan Pinjam Pandawa” yang memiliki kerugian Rp1 Triliun.
Kasus tersebut memenuhi aspek-aspek criminaloid, yaitu tidak ditemukan karakteristik fisik dan psikologis tertentu, para pelaku menerapkan teknik netralisasi (denial of responsibility, denial of injury, denial of victim, condemn the condemners, appeal to higher loyalties, dan denial of responsibility).
Kemudian rendahnya pengendalian diri dan tingginya rasionalisasi terhadap kejahatan; terdapat pengakuan palsu dari sosok yang terpengaruh budaya hedonisme dan alternative hedonism; serta rendahnya sensitivitas moral dan kecerdasan.
Baca juga: UI GreenCityMetric Dapat Digunakan untuk Pemeringkatan Kota dan Kabupaten di Indonesia
Studi tersebut menemukan bahwa criminaloid berkontribusi dalam kejahatan korporasi, khususnya kejahatan finansial penggelapan.
Dinamika dalam criminaloid tersebut meliputi ketiadaan karakteristik fisik dan psikologis; keraguan dalam bertindak; mudahnya memberikan pengakuan; sensitivitas moral; serta kecerdasan dan status sosial serta budaya.