Viral Media Sosial

Dinilai Menebarkan Narasi Islamphobia, Fadli Zon Minta Densus 88 Segera Dibubarkan

Dinilai Menebarkan Narasi Islamphobia, Fadli Zon Minta Densus 88 Segera Dibubarkan. Berikut Alasannya

Editor: Dwi Rizki
Istimewa
Fadli Zon dalam Sidang Umum ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-42 pada Rabu (25/8/2021) 

TRIBUNNEWSDEPOK.COM, JAKARTA - Pernyataan Direktur Pencegahan Densus 88, Kombes M Rosidi yang menyebutkan kemenangan Taliban berpengaruh terhadap aksi teror di Indonesia menuai polemik.

Rosidi menyebut jaringan teroris di Indonesia sering membuat narasi bermodal kemenangan Taliban.

"Euforia kemenangan Taliban ini dapat membawa dampak terhadap keberadaan kelompok teror di Indonesia. Paling tidak, dapat dijadikan sebagai sarana propaganda mereka," kata Direktur Pencegahan Densus 88, Kombes M Rosidi dalam diskusi daring yang digelar Selasa, dikutip dari CNN.

Pernyataan tersebut pun ditanggapi Anggota DPR RI Fadli Zon.

Dirinya mengingatkan Densus 88 agar tidak menebar narasi-narasi yang menjurus kepada Islamphobia.

Terorisme, menurut Fadli Zon, memang harus diberantas.

Namun, ia mengingatkan untuk tidak menjadikan terorisme sebagai komoditas.

Baca juga: Risma Marah-marah Lagi, Fadli Zon Menilai Sudah Lampaui Batas, Sarankan Mensos Jalani Terapi

Baca juga: Tokoh Sentral JI Abu Rusydan Aktif sebagai Penceramah, Densus 88 Ingatkan Strategi Kamuflase Teroris

Ia pun meminta Densus 88 sebaiknya dibubarkan saja.

"Narasi semacam ini tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamifobia. Dunia sudah berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas, tapi jgn dijadikan komoditas," tulisnya dalam status twitternya @fadlizon pada Selasa (5/10/2021).

Kadensus 88 lakukan pendekatan humanis

Diberitakan sebelumnya, bukan hanya tindakan tegas yang harus diambil kepolisian, dalam menyikapi ancaman para pelaku terorisme atau kelompok teroris.

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kini juga melakukan upaya lainnya guna mengatasi persoalan tersebut.

Salah satunya mengentaskan perkara terorisme dengan cara pendekatan yang lebih humanis.

Kepala Densus 88 Antiteror Polri, Irjen Martinus Hukom, mengatakan pendekatan humanis dilakukan selain juga dengan cara represif dalam mengatasi terorisme.

Pendekatan ini katanya merupakan amanat undang-undang (UU).

"UU kita yang direvisi, UU Nomor 5 Tahun 2018 yang merupakan revisi dari UU Nomor 15 Tahun 2003, mengamanatkan kepada kita, selain penegakan hukum, ada juga program pencegahan di situ, ada deradikalisasi. Jadi hukum kita sudah mengamanatkan itu, penyelesaian masalah terorisme dengan pendekatan humanis," papar Martinus dalam diskusi yang ditayangkan kanal YouTube Sofyan Tsauri Channel, Minggu (26/9/2021).

Selain itu, kata Martinus, pendekatan yang lebih humanis dilakukan Densus, lantaran kejahatan terorisme berbeda dengan jenis kejahatan lainnya.

Baca juga: Lawan Yusril, Partai Demokrat Gandeng Hamdan Zoelva, Dua Pakar Hukum Akan Bertarung di MA

"Kejahatan konvesional seperti perampokan, pembunuhan, pemukulan atau kejahatan apa pun, motifnya bisa karena dendam, bisa karena kepentingan individu, atau kebutuhan. Tapi kalau saya lihat, terorisme ini kejahatan yang berawal dari pemikiran," tutur Martinus.

Martinus pun mengutip pernyataan aktivis perempuan dan pejuang HAM dari Pakistan yang sempat ditembak Taliban, Malala Yousafzai.

Bahwa terorisme tidak bisa dihilangkan dengan jalan kekerasan. Sebab hal itu merupakan pemikiran atau ideologi.

"Saya mengutip dari salah satu penggiat perempuan di Afghanistan (Pakistan), Malala. Dia umur 17 tahun, dia telah menyuarakan hak-hak dia sebagai anak dan perempuan untuk bersekolah. Kemudian lalu dia mendapat ancaman kekerasan terhadap dirinya. Dia mengatakan, kalau kita membunuh teroris, kita bunuh dengan senjata. Tapi kalau kita membunuh terorisme kita harus bunuh dengan intelektual," papar Martinus.

Bagi Martinus, dalam membereskan persoalan terorisme, menembak mati teroris bukanlah fokus utama. Namun, ideologi kekerasan dari terorisme lah yang terpenting dan harus 'dihabisi'.

"Jadi bagi saya lebih penting kita menghilangkan paham itu (terorisme). Nah untuk menghilang paham itu, satu-satunya dengan cara mencerdaskan," jelasnya.

"Kemudian kita melakukan pendekatan-pendekatan, kita memprofiling, sebenarnya apa sih yang terjadi dengan teman-teman kita ini, saudara-saudara kita ini? Apakah dari aspek psikologi kah? Aspek sosial kah? Atau ideologinya? Atau juga prosperity atau kesejahteraannya," imbuh Martinus.

Pendekatan psikologis tersebut katanya dinilai sangat penting dalam penyelesaian masalah terorisme.

Sebab, dengan begitu bisa diketahui secara pasti penyebab dari serangan teror dilakukan, dan pada akhirnya pencegahan bisa dilakukan.

Cara-cara ini yang kini juga ditempuh Densus 88.

"Ada stairecase model. Ada lima tangga orang menuju kekerasan. Yang jelas intinya ketidakpuasan, kemudian didekati oleh kelompok-kelompok yang mempunyai ideologi kekerasan, lalu dia direkrut, kemudian dia mempersiapkan kekerasan, akhirnya muncul lah dalam bentuk kekerasan," kata dia.

Aspek psikologis ini menurutnya yang harus diketahui persis.

"Oleh karena itu tindakan kekerasan tidak akan menjawab. Jadi penegakan hukum dengan kekerasan atau dengan tindakan tegas, tidak akan menjawab problematika daripada akar terorisme ini," kata dia.

"Jadi yang kita harus lakukan adalah pendekatan yang lebih humanis, dan berkomunikasi dengan mereka. Sehingga kita bisa tahu apa sih akar yang menjadi permasalahan dirinya masing-masing. Secara personal atau secara kelompok, ataupun lain-lain," paparnya.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved