Penelitian UI
Profil Prof. Junita Indart Guru Besar FKUI Temukan Penyebab Kanker Serviks Meningkat di Indonesia
Prof. Dr. dr. Junita Indart, Sp.OG(K) guru besar FKUI melakukan penelitian terkait penyebab tingginya angka kanker serviks di Indonesia.
TRIBUNNESDEPOK.COM, JAKARTA - Kanker serviks menjadi momok kedua bagi perempuan di Indonesia. Kondisi itulah yang menggerakkan Prof. Dr. dr. Junita Indart, Sp.OG(K) melakukan penelitian.
Penelitiannya tersebut membuat Prof. Junita Indart dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Obstetri dan Ginekologi FKUI, Sabtu (19/8/2023).
Prof. Junita memang banyak melakukan penelitian selama ia berkarier di Universitas Indonesia.
Perlu diketahui bahwa Prof. Junita lulus dari FKUI pada tahun 1983.
Kemudian dia mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi (1993).
Lalu, Program Studi Doktor S3 Kedokteran (2009).
Pada 2015, ia menyelesaikan studi di Program Konsultan Obstetri dan Ginekologi Sosial, Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Saat ini ia menjabat sebagai Kepala Instalasi Pelayanan Rawat Inap Terpadu Gedung A dan aktf di Badan Khusus Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (PP POGI).
Prof. Junita mengambil penelitian berjudul Peran Keilmuan Obstetri dan Ginekologi Sosial terhadap Cakupan Skrining Kanker Serviks di Era Transformasi Kesehatan Indonesia
Ia dikukuhkan di Gedung IMERI-FKUI, Kampus Salemba ini dipimpin langsung oleh Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro.
Angka Kejadian Kanker Serviks Tinggi
Prof. Junita menyampaikan pentingnya peran keilmuan obstetri danginekologi sosial dalam upaya mengurangi angka penderita kanker serviks di Indonesia.
Menurut data dari Profl Kesehatan Indonesia tahun 2021, kanker serviks menempat peringkat kedua setelah kanker payudara, yaitu sebanyak 36.633 kasus atau 17,2 persen dari seluruh kanker pada wanita).
Jumlah ini memiliki angka mortalitas yang tnggi sebanyak 21.003 kematan atau 19,1 persen dari seluruh kematan akibat kanker.
Apabila dibandingkan angka kejadian kanker serviks di Indonesia pada tahun 2008, terjadi peningkatan
dua kali lipat.
Tingginya angka kejadian kanker serviks di Indonesia dipengaruhi oleh cakupan skrining yang masih
rendah.
Hingga tahun 2021, hanya 6,83 persen perempuan usia 30–50 tahun yang menjalani pemeriksaan skrining dengan metode IVA.
Pada tahun 2023, cakupan skrining kanker serviks di Indonesia hanya mencapai 7,02 persen dari target 70 persen.
Apabila tdak ditangani dengan efektif, angka kanker serviks meningkat dan menyebabkan beban sosio-ekonomi yang besar serta penurunan kualitas hidup individu.
Lima Pilar
Di tengah tantangan ini, upaya Indonesia dalam percepatan pencegahan kanker serviks berkaitan
dengan lima pilar transformasi sistem kesehatan yang mencakup transformasi layanan primer, layanan
rujukan, sistem pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, dan teknologi
kesehatan.
Kelima pilar ini dapat mendukung dua strategi pencegahan kanker serviks, yaitu pencegahan primer dengan imunisasi vaksin Human Papillomavirus (HPV) dan pencegahan sekunder dengan deteksi dini kanker serviks.
Metode skrining dan pendekatan pencegahan yang inovatf perlu dikembangkan agar lebih efektf,
terjangkau, dan mudah diakses.
Metode skrining kanker serviks yang digunakan di Indonesia adalah IVA, Pap Smear, dan tes DNA HPV. Setap metode memiliki nilai keuntungan dan hambatan masing-masing sehingga perlu diperhatkan mana yang paling sesuai untuk diimplementasikan di Indonesia.
Metode IVA masih menjadi metode skrining pilihan dengan biaya yang terjangkau dibandingkan dengan
tes HPV DNA dan Pap Smear.
Namun, kendalanya adalah selain harus melath tenaga kesehatan, alur tindak lanjut rujukan yang komprehensif juga harus dibuat untuk hasil yang positf.
Apabila tdak bisa ditatalaksana pada tngkat Faskes 1, pasien harus dirujuk ke rumah sakit dengan alur rujukan yang jelas.
Regulasi yang Tegas
Metode skrining lainnya adalah tes DNA HPV, yang sudah digunakan di beberapa negara maju karena
lebih efektf dalam mendeteksi lesi prakanker.
Sensitvitas pemeriksaan DNA HPV sangat tinggi, yaitu 80–98 persen.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang belum terlatih atau pasien secara
mandiri/self-sampling.
Saat ini, telah dilakukan penelitan untuk mengembangkan pemeriksaan DNA HPV pada urin.
Pemeriksaan dengan sampel urin ini dapat mengakomodasi pasien yang belum terskrining karena berbagai faktor penghambat.
Penerapan pemeriksaan DNA HPV di Indonesia masih terkendala biaya yang tinggi.
Namun, setelah ada pemeriksaan DNA HPV lokal buatan anak bangsa, biaya tes yang awalnya sekitar 600–800 ribu bisa diturunkan hingga 149.850 rupiah.
Artnya, untuk memenuhi target capaian 70 persen cakupan skrining kanker serviks pada tahun 2023, diperlukan dana sekitar 4 triliun rupiah.
Mengingat kanker serviks memiliki dampak yang luas, diperlukan regulasi yang lebih tegas, yang
mengharuskan perempuan memeriksakan diri secara rutin.
Peran Keilmuan Obstetri dan Ginekologi Sosial memiliki potensi besar dalam mendukung cakupan skrining kanker serviks, serta mengurangi dampak luas yang ditmbulkan melalui penyusunan strategi berbasis bukti.
"Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, rumah sakit, puskesmas, organisasi profesi, serta masyarakat menjadi sangat pentng demi terwujudnya kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik bagi perempuan Indonesia,” ujar Prof. Junita.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.